Minggu, 10 Februari 2008

NOVELET : T JUNAIDI


Udara dingin terasa menusuki pori-pori tubuhku. Hamparan kabut tebal juga terlihat menyelimuti sepanjang sungai Mahakam. Aku dan sejumlah pasukan tidak tidur hingga datang fajar kadzib. Baru setelah ayam hutam berkokok bersahut-sahutan seiring datang fajar sodiq, aku mulai terasa letih. Kepala pun terasa berat, meski sebenarnya mata kepalaku tidak pernah bisa aku pijamkan. Aku sadar betul, bahwa ini situasi perang. Dan pernyataan perang mengenai masa depan pulau Kalimantan sudah dikumandangkan Presiden Sukarno. Kata-kata ‘Ganyang Malaysia’ pun menjadi kata-kata paling ampuh untuk membakar semangat juang bangsa Indonesia, tak terkecuali para relawan sanggup melakukan gerilya sampai masuk melalui perbatasan kecamatan Siluas, Kabupaten Sambas Kalimantan Barat sampai ke Johor. Para gerilyawan tak hanya bertempur melawan bangsa serumpun saja. Tetapi justru dihadapkan pada situasi perang terbuka bangsa sekutu di tanah melayu. Peperangan ini memang berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu. ‘’Apapun persoalannya, saat ini kita berada di barisan terdepan. Kita dibantu para relawan yang memiliki semangat berperang membela tanah air. Kita tak bisa berbuat banyak kecuali harus melakukan inisiatif menyerang atau diserang. Garis komando sudah jelas di pundak kita,’’ kataku lirih di tengah-tengah belantara perbatasan yang masih gelap gulita. Tak ada jalan setapak pun yang aku lewati, kecuali menerobos jalan semak-semak yang biasa dilewati babi hutan. Konsekwensi dari sikap bermusuhan terhadap Malaysia, para prajurit harus siap angkat senjata bersama para sukarelawan. Rawe-rawe rantas, malang-malang puntung, semangat juang Sukarno itulah yang kemudian dsambut para relawan Indonesia memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja beberapa kali berhadapan dengan lima puluhan gerilyawan Indonesia. Perangpun tak terhindari dan meletus di sepanjang perbatasan. ‘’Kita harus terus menerobos masuk rimba menuju perbatasan, meskipun Rejimen Askar Melayu Diraja memanfaatkan tentara sekutu sebagai tamengnya. Apa boleh buat, kita harus menghadapi peperangan yang mestinya tidak kita lakukan. Sebab bangsa Malaysia adalah rumpun kita juga. Kecuali Inggris. Sementara Jakarta mengintruksikan agar jangan bertempur terbuka melawan pasukan Inggris. Tapi dalam situasi seperti ini, kita tidak bisa memilih …’’ ujar Tarman usai memberi komando bergerak tengah malam. ‘’Yang kita hadapi sekarang ini benar-benar bukan musuh yang sebenarnya. Tapi justru Inggris dan Australia. Ingat, dalam Perang Vietnam dulu, Australia mengerahkan lebih dari 6.000 pasukannya. Resimen Kavaleri-3 menggunakan Armour Personal Carrier M113A1 yang dimodifikasi dengan memasang turret senapan mesin Browning kaliber 7,62 mm ganda dari kendaraan lapis baja V-100 Commando. Nah, kalau kita hanya memiliki semangat saja tentu tidak cukup, kecuali kita harus mengatur strategi gerilya,’’ ujar Tarjo membeberkan data hasil mata-mata para relawan yang sudah masuk Johor. Tak lama kemudian, suara bising helikopter UH-1H Iroquois dan pesawat Caribou mulai melintas di atas perbatasan Jaboingbaba. Tepat di atas kepala para gerilyawan yang rencananya menerobos lewat sungai. ‘’Jangan memancing tembakan. Jejak kita bisa dibaca musuh,’’ kataku. Aku dan sejumlah pasukan masih tetap bertahan di Siluas. Sementara disektor Barat, pasukan Australia yang ditempatkan di Divisi-1 Serawak berhadapan langsung dengan sukarelawan Indonesia. Disinilah aku dan teman-teman seperti hantu yang sengaja masuk dalam neraka jahanam. Beberapa kali ledakan dahsyat mencabik-cabik tubuh para relawan dan tentara syah Indonesia. Satu batalyon tempur kita dalam keadaan kacau karena dibombardir dari segala arah. Dan sejak beberapa minggu setelah suhu politik Jakarta memanas, pasukan bantuan pun belum juga diterjunkan. ‘’Kita bisa klenger, bisa mati anjing di tempat ini. Nasib kita juga tak pasti. Bagaimana menurutmu. Apa kita mundur teratur, atau bagaimana. Sebab yang di front saat ini adalah kita, sementara para pemimpin kita di Jakarta malah ribut sendiri. Ini bagaimana…?’’ aku diam. Pikiranku juga kacau. Bagaimana tidak, mundur dalam peperangan merupakan perbuatan pengecut. Mau maju frontal juga tidak mungkin. ‘’Itu kan baru kabar. Kita tidak perlu larut dalam situasi politik. Kita tetap bertahan dan menyerang sembari menunggu kabar terbaru Jakarta. Apa konfrontasi ini berlanjut atau kita menarik pasukan kembali ke tanah air.’’ ‘’Ya,ya, aku setuju. Tetapi sebagian teman-teman sudah menyebar ke pos-pos yang sudah kita tentukan.’’ ‘’Itu bisa kita kita atasi, tetapi para relawan yang sudah masuk Johor akan mengalami nasib mengerikan. Separuh dari mereka malah sudah ditangkapi Rejimen Askar Melayu DiRaja.’’ ‘’Ya, itu resiko pembela negara. Kita adalah prajurit.’’ Aku diam. Kemudian Tarman menepuk pundakku. ‘’Kita harus menyusuri sungai kecil menuju pedalaman Sambas,’’ katanya. *** Keinginan Malaysia menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu, memang memicu kemarahan Sukarno. Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikan koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia. Sukarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu. Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) pun terus memberontak. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei dan menyandera orang Eropa. Tetapi Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. ‘’Komando Timur Jauh Inggris mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi. Pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir,’’ Tarjo berkata tanpa ekspresi apa-apa. ‘’Ya,ya..!’’ kataku. ‘’Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah memilihnya referendum yang diorganisasi PBB. Tetapi sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris,’’ kata Tarjo lagi. ‘’Menjelang peletakan jabatan Sukarno sebagai presiden, dan digantikan sementara oleh Suharto, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia menjadi tidak jelas. Pasukan kita tak ubahnya sebuah parade pasukan bunuh diri saja. Kita tak lagi punya dukungan moriil maupun materiil, Man. Maju kena, mundurpun kena,’’ kataku kepada Tarman. ‘’Ingat, kita adalah tentara. Demi bangsa dan negara, kita siap berkorban,’’ Tarjo menimpali. ‘’Merdeka…!’’ ‘’Merdeka…!’’ sahut Tarman. *** Federasi Malaysia akhirnya resmi dibentuk pada 16 September 1963. Namun Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar dikemudian hari. Ketegangan berkembang di kedua belah pihak di Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkapi dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Sementara di sepanjang perbatasan, peperangan antara pasukanku dan pasukan tak resmi mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil. Pada keesokan harinya, aku kembali menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Sebanyak enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas pasukan di perbatasan juga meningkat kembali. Tapi tentara Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Meskipun sebenarnya tentara Malaysia hanya sedikit yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Pada 17 Agustus aku dan komandanku mulai menemukan semangat baru. Sebab pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pasukan terjun payung juga didaratkan di Labis, Johor dan Pontianak di perbatasan Johor-Malaka. Tapi mereka apes, pasukan Rejimen Askar Melayu Di Raja dengan sangat mudah menangkapi mereka. ‘’Kendala kita memukul pasukan Askar Melayu DiRaja hanyalah pasukan Australia. Apalagi Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service.’’ ‘’Kita sikat saja pakai cara kita.’’ ‘’Ingat. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia memang tidak dapat mengikuti penyerangan melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia,’’ kataku. ’’Justru itu, apalagi saat ini kita sudah menggunakan pasukan resmi. Pasukan kita sudah menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan langsung dengan Rejimen Askar Melayu DiRaja.’’ ‘’Ya, kita tetap harus merapat untuk membangun kekuatan, selagi kita masih punya harapan.’’ *** Malam bulan purnama, aku menunggu pasukan bantuan sembari tidur telentang di sela-sela tumpukan kayu. Purnama yang bulat, terang benderang, sepertinya merupakan malam terakhir yang bisa aku saksikan dalam hidup ini. Hari-hari cukup menegangkan setelah beberapa hari lalu teman-temanku habis dibombardir pasukan Inggris. Tinggal beberapa pasukan yang tersisa. Kini setiap malam aku hanya bisa menghitung hari, mau dikemanakan sisa pasukan yang ada ini. Sembari menunggu kepastian Jakarta, tak terasa sudah dua tahun aku bertahan di Kalimantan. Aku terpaksa membaur bersama suku dayak Kalimantan hanya untuk mendapatkan pasokan bahan-bahan makanan. Di bulan purnama itu pula, aku merasa terhibur dengan tari-tarian anak suku dayak yang mengitari api unggun. Pesta adat dengan membakar babi hutan menjadi hari-hari menyenangkan. Aku berkali-kali menolak ketika kepala suku menyodori sebongkah daging babi hutan yang baru diangkat dari perapian. Asap masih terlihat mengepul disela-sela daging babi yang berminyak itu. Dan ketika kepala suku menyodori ayam panggang, aku langsung menyambar. Aku hanya bisa manggut-manggut lantaran tidak tahu bahasa komunikasi mereka. Waktu pun terus berlalu. Ketidakpastian konfrontasi terhadap Malaysia semakin nyata, setelah Sukarno benar-benar tak lagi mengendalikan negara gara-gara pecah perang saudara. Aku dan teman-teman seperjuangan hanya bisa berharap, kapan kita pulang ke Jakarta. Dan kabar terakhir, pasukan Indonesia banyak yang tewas di perbatasan. ‘’Apakah kita kalah total…?’’ ujar Tarjo. ‘’Tidak. Kita tetap menang, meski dua tahun kita menghadapi konfrontasi setengah hati!’’ jawab Tarman. ‘’Ya, kita menang. Tapi Jakarta sudah terlanjur mengabarkan bahwa kita semua tewas di medan laga…!’’ kataku.

..............................bersambung


*** Palembang Agustus 2007. Kado Kemerdekaan. Diangkat dari kisah sejati veteran perang RI, Serka Rohadi di perbatasan Siluas. Kalimantan Barat dalam konfronatsi Malaysia-Indonesia 1962-1966)

Tidak ada komentar: