Minggu, 10 Februari 2008

Perempuan Sungai



















Sinopsis:

Saya benar-benar tertarik dengan Dinda Sarumpit, perempuan di perkampungan Rantau sungai Sungsang. Tapi saya tak mampu mempersunting dia hanya dengan berbekal cinta asmara. Sedangkan tradisi perkawinan di perkampungan ini sudah berkali-kali menorehkan bunga kematian. Siapapun yang menentang tradisi, berarti siap mengorbankan jiwa raga. Wak Rindu, salah seorang sesepuh perkampungan Rantau sungai Sungsang, selalu menasihati pemuda pendatang yang kebetulan tertarik dengan perempuan di sana. Begitu juga mengenai adat perkawinan yang sudah berlangsung turun-temurun. Bagi pemuda yang siap menikah, berarti siap memenuhi persyaratan tak tertulis sebuah pernikahan, antara lain mampu membeli kain songket tujuh turunan--padahal selembar kain songket harganya jutaan rupiah. Ditambah lagi dengan barang belanjaan satu sampan penuh. Nah bila persyaratan itu sudah terpenuhi, maka dia berhak untuk meminang perempuan Rantau sebagai istri. Tapi peraturan yang dibuat secara adat dengan maksud mengangkat harkat kaum perempuan itu, justru berbalik-- perempuan seperti budak. Balas dendam atas nama suami sebagai kepala rumah tangga membuat perempuan harus selalu menelan pil pahit kehidupan. Hakikat perkawinan menuju kebahagiaan lahir batin, justru menjadi momok bagi perempuan. Saya harus menentang tradisi. Saya juga menentang apapun yang pernah terjadi. Saya ingin menunjukkan pada warga kampung Rantau, bahwa membayar mahal sebuah perkawinan adalah modal menuju perkawinan yang hakiki, bukan membayar kepuasaan.

--------------------------------------------------

Langit diatas muara selat Bangka terlihat cerah. Tak ada tanda-tanda badai akan datang lagi seperti sebulan yang lalu. Hampir seluruh pelayaran dari Palembang diperingatkan agar tidak menyeberangi selat Bangka.

Larangan ini dikeluarkan Departemen Perhubungan terkait dengan tenggelamnya beberapa kapal akibat cuaca buruk. Masa berlaku larangan ini bisa diperpanjang kalau Badan Meteorologi dan Geofisika masih menyatakan bahaya. Pengecualian diberikan terhadap kapal-kapal besar yang dilengkapi teknologi pengatur ombak. Itu pun harus atas izin administrator pelabuhan.

Cuaca buruk ternyata tidak hanya diperairan selat Bangka, tetapi hampir seluruh lautan Indonesia, terutama laut selatan dan sepanjang Sumatera sedang dihadang badai yang mengganas. Kapal Senopati Nusantara adalah satu dari empat kapal yang tenggelam dihantam gelombang yang mengganas dalam beberapa pekan. Kapal yang mengangkut 628 penumpang dari Pelabuhan Teluk Kumai di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, menuju Semarang itu tenggelam di perairan Laut Jawa di sekitar Pulau Mandalika.

Ini benar-benar kabar buruk bagi kami. Berhenti melaut atau nekad melawan badai? Sebab sehari sebelumnya, kapal Tri Star I rute Palembang-Bangka juga tenggelam. Sampai beberapa hari, baru 37 dari 58 penumpangnya yang bisa ditemukan. Tiga di antaranya meninggal. Tidak lama dari tenggelamnya Tri Star I, kapal motor Sinar Baru, juga tenggelam di perairan Benoa.

BMG memperkirakan setidaknya gelombang masih akan mengamuk hingga 6 Januari mendatang, terutama di perairan laut bagian selatan, yang membentang dari Sumatera bagian selatan, Jawa, hingga Flores di Nusa Tenggara Timur dan sebagian Maluku. Di wilayah ini terjadi pertemuan angin barat yang sangat kencang menuju ke arah timur dan menimbulkan gelombang setinggi 3-4 meter.

Kami selalu mengingatkan teman-teman agar selalu hati-hati. Apalagi kita bukan seorang pelaut sejati, melainkan coba-coba menjadi pelaut. Warga perkampungan Rantau sungai Sungsang sering mengingatkan, gelombang bisa saja datang pada waktu-waktu tertentu. Sebab gelombang besar biasanya muncul setelah kita sudah berada di tengah-tengah laut. Posisi paling sulit ketika berada ditengah laut adalah terjebak badai. Nakoda biasanya tak mampu lagi berpirau membelah ombak. Tak ada upaya lain kecuali pasrah menunggu kematian. Mengerikan memang!

Tapi cuaca bulan ini terlihat cerah, juga pertanda bakal banyak ikan ngumpul di kawasan muara Sembilang, yang merupakan bagian kawasan muara Sungsang. Bagan-bagan terlihat sudah mulai banyak didirikan warga untuk tempat persinggahan menangkap ikan. Para pendatang juga mulai berdatangan hanya sekedar numpang memancing selama sehari semalam, sementara pemilik bagan lebih suka melaut di kawasan dangkal yang memungkinkan ikan-ikan kecil berkumpul disela-sela karang.

Cuaca cerah bulan ini, bukan berarti sebuah keberuntungan bagi saya memasuki kawasan Sungsang. Sebab melaut merupakan profesi yang sangat bertolak belakang dengan kebiasaan saya sebagai anak petani yang nyambi jadi guru honorer dan penulis lepas di suratkabar. Saya tidak terlalu mahir berenang. Saya hanya sebatas bisa mengatur keseimbangan dipermukaan air agar tidak cepat tenggelam.

Tapi apa boleh buat, ini harus saya lakukan. Saya dan teman-teman rela bermalam di atas kapal motor menyusuri sepanjang sungai Saleh menuju delta sungai Sungsang. Saya bersyukur bahwa pertengahan bulan ini tak pernah menjumpai gelombang besar. Begitu juga dari anak sungai Musi yang mengalir ke Batanghari Sembilan. Berbeda dengan pusara sungai yang menghubungkan anak sungai Sungsang ke semenanjung selat Bangka.

Saya benar-benar merasa asing. Ada rasa takut yang terus menerus menghantui perasaan saya. Entah apakah karena sungai Sungsang sering disebut-sebut sebagai sungai misterius, banyak antu banyu (hantu air--Red), buaya, hiu hitam dan lain-lain? Sulit untuk mempercayai itu. Tapi fakta yang terjadi beberapa tahun lalu membuat semua orang tercengang, termasuk dunia. Sebuah Helikopter sempat nyungsep di Sungsang. Begitu juga pesawat Silk Air boing 737 dari perusahaan penerbangan Singapura meledak di atas Sungsang. Anehnya bangkai pesawat tersebut tidak ditemukan, kecuali kepingan-kepingan kecil selebar 30 cm dan paling panjang 2 meter. Begitu juga ratusan penumpangnya tidak ditemukan secara utuh, melainkan potongan-potongan daging manusia sebesar tiga ibu jari. Aneh memang!

Saya mencoba membuang rasa takut itu dengan berdoa dan ingat Tuhan, bahwa apapun yang terjadi dimuka bumi ini tak lain adalah kekuasaan Tuhan. Dan kalau saja saya harus merantau di Sungsang, bagi saya ini merupakan perjalanan takdir, sehingga saya bisa belajar pada peristiwa, juga kenal Wak Rindu, sesepuh kampung yang paling disegani warganya. Kenal Dinda Sarumpit yang cantik dan selalu menjadi perhatian setiap lelaki. Kenal Hikam yang bengis, Hindun yang bernasib tragis, serta Lagu Maringgi, artis Parit Tujuh, yang juga jadi rebutan kaum lelaki.

Rasanya, saya merasa salah alamat untuk merubah nasib. Tapi saya cepat sadar, menggerutui nasib sama saja berburuk sangka pada Tuhan. Saya berempat sudah menginjakkan kaki di kawasan yang paling banyak hiu hitam yang ganas itu. Jangankan orang awam soal dasar laut, para ahli penyelam dari Singapura ketika mengevakuasi korban jatuhnya pesawat Silk Air saja tidak berani menceburkan diri di perairan Sungsang. Padahal mereka dilengkapi peralatan canggih termasuk kapal jarring untuk mencari korban. Tapi semuanya sia-sia. Selama beberapa bulan tidak satupun dari ratusan korban ditemukan. Mungkinkah dimangsa buaya dan hiu hitam? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Itulah misteri Sungsang.

****

Wak Rindu, tokoh kampung yang paling disegani, orangnya paling tekun beribadah di surau. Bicaranya tertata, dan terkenal mampu mengatasi persoalan yang sering dialami warga kampung, misalnya soal sengketa tanah, utang piutang, dan percekcokan antar tetangga. Dia selalu sebagai penengah sekaligus sebagai juru damai. Saya sempat heran dengan Wak Rindu. Perawakannya sebenarnya biasa-biasa,

badanya agak pendek, rambutnya ikal, jenggotnya mirip Rhoma Irama, dan sorot matanya kalau sedang berbicara melotot-lotot. Karakter Wak Rindu ini memang agak keras. Wajar saja masyarakat segan dengannya.

Saya berempat, Hamdi, Midi, dan Badrun, hanyalah orang pendatang di kampung Rantau sungai Sungsang. Kedatangan saya ini tak lain merupakan kebiasaan yang terjadi di daerah transmigran tempat saya tinggal, yaitu bila kami tidak panen karena padi rusak atau serangan tikus, kami selalu merantau ke mana saja. Ini kami lakukan untuk mencari modal untuk menggarap sawah.

Mula-mula Hamdi yang mengajak saya ke Sungsang. Entah dapat kabar dari mana kalau di Sungsang ini ada pekerjaan. Saya sama sekali tidak punya rencana merantau, lebih-lebih memasuki kawasan perairan Sungsang yang terkenal angker itu. Bila malam tiba, suasana benar-benar terasa sepi. Apalagi setiap pagi kabut tebal selalu menyelimuti sepanjang sungai, menambah suasana semakin horror saja.

Wak Rindu terlihat menuruni tangga rumah panggungnya. Ia menuju ke jamban tempat mandi dan mencuci. Tapi sebelum sampai ke jamban, dia memanggil kami berempat.

‘’Hai budak, ambek tu kayu buat jerambah jamban. Jangan cuma bengong disitu,’’ kata Wak Rindu ke arah saya.

Kami berempat saling pandang.

‘’Ada apa wak, nama saya Prasetyo, ’’ kata saya.

‘’Kamu tak akan dapat menembus pusara air itu menuju ke hulu," kata Wak Rindu setengah memekik. Dia sembari menyibakan sorban melingkar di kepala. Saya sempat terkejut dipanggil budak. Kesannya saya ini memang benar-benar budak. Manusia yang dirampas hak-haknya sebagai seorang manusia. Manusia yang tidak memiliki harga diri dan kehormatan. Tapi budak yang dimaksud Wak Rindu hanyalah sebuah nama yang diberikan pada remaja-remaja umumnya. Kalau di Jawa istilahnya bocah-bocah, atau kalau di Surabaya arek-arek dan lain-lain.

‘’Kenapa saya tidak bisa menjumpai muara, Wak,’’ tanya saya heran.

"Sebab kamu akan menjumpai maut seperti nelayan anak rantau si Rokyat, di sepanjang pemukiman sungai Sungsang. Apakah kamu sudah cukup mengerti bahasa gelombang dan di mana arah mata angin? Sungai ini cukup berbahaya bagi pendatang baru. Kamu mengerti sungai Sungsang kemana mengalir dan bermuara?" kata Wak

Rindu seperti mendikte pengetahuan saya. Sedangkan saya hanya mengangguk agar wak Rindu tidak lekas tersinggung.

Kami berempat kemudian menggotong kayu untuk alas jalan setapak yang terlihat berlumpur biar orang-orang yang mengambil air wudlu tidak terperosok di lumpur.

Semilir angin berhembus terasa dingin. Para nelayan di pemukiman rantau di bibir sungai mulai ramai setiap menjelang fajar hingga matahari terbit. Pada pagi buta, biasanya mereka baru pulang. Istri di rumah sejak fajar sebelum suami pulang sudah selesai memasak. Membuat kopi dan menyiapkan sarapan, baru setelah sinar merah membias di kaki langit dan bedug subuh ditabuh bertalu-talu, mereka ramai-ramai menuju bibir sungai.

Bagi nelayan yang lebih awal pulangnya, biasanya dia duduk-duduk digalangan kapalnya. Ada juga yang nampak manyun memikirkan hasil tangkapannya semalam suntuk. Kegiatan perikanan di kawasan ini memang sebagian besar terpusat di Sungsang, ibu kota kecamatan Banyuasin Sumatera Selatan, yang merupakan muara aliran Sungai Musi. Beberapa pemukiman juga tersebar di muara-muara sungai di kawasan ini. Penduduknya rata-rata para pendatang dari berbagai daerah pulau lain. Ada yang berasal dari suku Bugis, Aceh, Ambon, Palangkaraya, Jawa, dan lain-lain. Namun ada juga yang berasal dari suku pribumi—asli Sungsang. Perkampungan rantau ini terbentuk begitu saja bak sungai Sungsang yang mengalir tak tahu arah. Begitu juga adat istiadatnya terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan nenek moyang di sana.

Di bagian utara kawasan Sembilang, pemukiman yang cukup lama terletak di Terusan Dalam. Di samping itu, sejumlah keluarga juga tinggal di atas bagan-bagan di laut dangkal atau di tepian sungai di daerah pasang surut, dan sedikit masuk ke arah darat. Di tempat ini benar-benar terasa menyedihkan, terutama ketersediaan air tawar yang selalu menjadi masalah. Mereka mengandalkan air hujan sebagai sumber air tawar, untuk minum dan masak. Bagaimana jika terjadi kemarau panjang? Biasanya banyak warga terkena muntaber dan lain-lain.

Sementara masyarakat yang berada di sepanjang muara Sungsang ini dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu pendatang nelayan perikanan tangkap yang berada di sekitar Sungsang, masyarakat petani yang berada di kawasan transmigrasi seperti saya, yaitu di Airsugihan kanan Ogan Komering Ilir (OKI). Bila musim kemarau tiba, para petani umumnya merantau ke Bangka atau kawasan Sungsang untuk mendapatkan upah kerja serabutan, membantu mengambil padi, istilah di Jawa dereb, menangkap ikan dan lain-lain. Dan bila dirasa hasilnya cukup, semua orang kembali lagi ke Airsugihan untuk menggarap sawah dan ladangnya.

Wak Rindu meyodorkan sarung dan sajadah pada saya.

"Ambil air wudhu lalu shalat berjamaah disurau. Saya tahu kamu orang yang taat beragama," Wak Rindu berkata tanpa ekspresi apa-apa. Sementara di pinggir sungai, orang-orang kampung masih enak-enak merokok sambil berkerudung kain sarung.

Kabut tebal yang menebar disepanjang sungai seperti gelombang laut yang tak habis-habisnya disapu angin. Air sungai pun mengalir tenang. Sesekali gelombang bulat berkecipak-kecipak, mungkin ikan-ikan kecil sedang berebut makanan. Pagi itu meski udara dingin menusuki pori-pori tubuh, perempuan rantau sungai Sungsang asyik berebut jamban untuk membasuh tubuhnya. Mereka nampak akrab dengan kehidupan sungai, mencuci pakaian dan berenang-renang di tepian.

"Sebaiknya jangan melihat perempuan sedang mandi, bila engkau tidak ingin dirundung sial. Ini pemukiman rantau panjang di tepian sungai. Dan kami sudah bertahun-tahun lamanya hidup ditepian ini. Air di sungai Sungsang tidak akan mengalir sampai kelaut lepas. Biasanya air akan tenang setelah pasang laut mulai meninggi. Sungai Sungsang tak akan sampai surut. Maka jangan pandangi mereka, sebab engkau akan menjumpai seperti Sungsang di tepian ini," Wak Rindu bicara tanpa memandang kearah saya, melainkan memandangi hamparan sungai yang sedang mengalir. Kata-kata Wak Rindu ini selalu membuat kening saya berkerut. Saya agak bingung menerjemahkan apa yang baru saja dikatakan. Maklum tradisi Melayu tulen memang tak lepas dengan syair dan pantun nasihat. Saya suka itu, meski saya harus sabar mengartikannya.

"Bukan seperti dalam pikiranmu yang tumbuh oleh alammu sendiri dirantau sana, yakni tempatmu tinggal. Alam disini cukup bersahabat dengan mereka-mereka," gaya Wak Rindu tidak berubah, bicara tanpa memandang ke arah saya. Dia lalu menuruni jamban.

Hamdi menyenggol lengan kanan saya.

‘’Sudahlah jangan dilanjutkan. Kita bisa mati sia-sia di kampung orang,’’ bisik Hamdi dekat di telinga saya. Hamdi lebih dulu mengambil air wudhu yang disusul Midi, dan Badrun.

Berkali-kali saya hanya mengangguk. Dalam hati, saya benar-benar tertarik dengan pesona fajar dibibir sungai. Perempuan-perempuan yang membasuh tubuhnya sambil berenang disungai itu membuat alam fantasi saya menggeliat nakal.

"Di jamban sebelah sana," Wak Rindu menunjuk, "dia perempuan tercantik dikampung ini, namanya Dinda Sarumpit. Tapi perempuan itu telah menorehkan peristiwa tragis berkali-kali. Banyak para lelaki pendatang tak selamat setelah mencoba melawan adat," kali ini Wak Rindu menatap wajah saya dengan tatapan serius, "Mereka mati terbunuh oleh kakak kandungnya sendiri,'' sambung Wak Rindu.

"Wak Rindu jangan menakut-nakuti saya. Bukankah Wak Rindu pernah bilang pada saya, bahwa perkampungan rantau di tepian sungai ini adalah perkampungan damai dan bersahabat dengan alam? Bukankah Wak Rindu mengatakan pada saya perempuan sungai di perkampungan rantau cantik-cantik untuk ditunang lalu diperistri? Saya masih ingat, Wak Rindu melarang saya untuk sekedar berkenalan,'' kata saya tanpa membalas tatapan Wak Rindu.

Wak Rindu menarik bibirnya pelan-pelan. Setengah sinis. Mungkin dia agak tersinggung dengan kata-kata saya itu. "Tak sedikit lelaki pendatang selalu memperlihatkan kecongkakan, mereka sombong dan besar kepala. Tapi beruntunglah kamu masih mengenal air wudhu dan mencintai surau sebagai rumah persinggahan untuk mensucikan dirimu ditempat ini." Saya terperangah. Kata-kata Wak Rindu kali ini mengingatkan saya pada peristiwa tragis yang menimpa Pak Rastadiyanto, guru Sekolah Dasar, sekaligus guru ngaji di mesjid tempat saya tinggal, yaitu Airsugihan. Dia dibunuh dengan sangat mengenaskan. Diseret speedboat dari Jalur Transmigrasi Airsugihan menuju sungai alam. Lalu ditembak kepalanya untuk memastikan bahwa dia benar-benar mati.

"Di tempatmu tidak seperti di sini. Jangan membuatmu kampung ini aneh. Bukan, bukan aneh. Sebab semua kelompok masyarakat di tempat yang berbeda akan berbeda pula kebiasaannya. Di perkampungan ini kami telah bersahabat. Maka jangan lukai kedamaian kami dengan kecongkakkanmu," nada Wak Rindu terdengar mulai serius.

"Saya tidak akan melakukan sesuatu yang membuat perkampungan rantau di tepian sungai menjadi coreng-moreng oleh kedatangan saya. Tetapi saya ingin bersahabat seperti Wak Rindu katakan. Bila saya tertarik dengan perempuan perkampungan Rantau ini apakah salah, Wak," kata saya tanpa ekspresi. Midi mencubit lengan kiri saya, maksudnya tidak usah dibahas panjang lebar. Bagi Midi yang penting nurut saja apa kata orang. Toh mereka tidak mengganggu keselamatan kita. Tapi saya orangnya tidak mau mendengar setengah-setengah, atau mengiyakan sepenggal kata.

"Sekali lagi, jangan melihat perempuan mandi," ancam Wak Rindu. Dia benar-benar nampak serius. Mungkin kalau saya tak kenal Wak Rindu, saya tak tahu apa jadinya dipulau ini. Dan Wak Rindu benar, dalam ajaran Islam laki-laki yang bukan mukhrimnya akan berdosa bila melihat perempuan lebih dari lima menit.

"Belum lama di kampung rantau telah bertabur bunga kematian. Apakah kamu tidak berkeinginan untuk mengelak kejadian yang telah berlalu? Kamu boleh kenal Wak Rindu ini,'' kali ini Wak Rindu berujar tepat di depan muka saya. Artinya Wak Rindu tidak main-main.

"Jadi Wak Rindu, emmm...." Saya menatapnya lekat-lekat. Agak khawatir melepaskan kata-kata kepada orang yang baru sepekan saya kenal. Hampir susah memahami orang-orang laut seperti mereka. Tapi hampir kebanyakan orang pesisir lebih temperamen, lebih sensitive, dan mudah marah. Saya paham itu.

Kalaun saja saya harus mati diperantauan, jangan sampai mati dengan batang leher saya dipenggal orang. Ini sangat sadis, tidak manusiawi. Saya jadi teringat Pak Rastadiyanto yang diburu oknum militer dan polisi di era orde baru. Semua orang tahu, di masa itu militer dan polisi dihalalkan menembak mati orang-orang yang membangkang pemerintah. Pak Ras, begitu saya memanggilnya, dia salah satu korbannya. Saat itu dia agak aneh, atau istilah Palembang nyele, memimpin demo segala. Padahal orde baru paling anti demo. Kok malah Pak Ras berani-beraninya tampil sebagai pemimpin demo. Ya akhirnya Pak Ras menanggung akibatnya. Dia mati sebagai pahlawan versi Pak Ras sendiri dan para pendukungnya, tapi bagi aparat, Pak Ras mati sia-sia akibat ulahnya.

"Hei, kamu memikirkan apa?’’ Wak Rindu tiba-tiba mengagetkan lamunan saya. ’Tidak ada yang perlu dipikirkan. Lihat, orang-orang kampung sudah siap ke surau menunggu waktu jamaah, " lanjut Wak Rindu.

"Ya. Ya. Baik Wak. Saya segera menyusul."

"Menyusul? Bukankah kata-katamu itu menyepelekan saya."

"Maksud saya. Saya segera ke surau setelah mengambil air wudhlu."

"Baiklah, saya tunggu," Wak Rindu beranjak. Saya ganti menuruni jamban. Mengambil air whudlu.

***

Malam hari di kedai kopi milik Cek Dilah nampak ramai. Orang-orang sungai asyik bersendau gurau sembari menenggak tuak. Mereka mabuk berat setelah berjam-jam menghabiskan beberapa teguk minumannya. Suasana seperti ini hampir menghiasi setiap kedai dipinggir sungai pada malam hari.

"Jangan kamu pikirkan mengapa orang-orang laut menghabiskan malam dengan begadang dan meminum seperti ini," kata lelaki bertubuh kekar disebelah saya. Lelaki itu tertawa terbahak-bahak seperti menertawai saya. "Kita semua tidak pernah mabuk, ini hanya untuk menghangatkan badan setelah berhari-hari berada di tengah laut. Kita semua tidak pernah mabuk ditengah laut, itu berbahaya. Kita bisa ditelan badai, mampus! Ha, ha, ha, ayo minumlah biar kamu terbiasa dengan laut," kata lelaki bernama Hikam menawari segelas minuman.

Saya sebenarnya paling tidak suka kumpul-kumpul seperti ini. Bisa dipastikan lebih banyak balaknya daripada damainya. Apalagi disertai minum-minuman beralkohol. Tahu sendiri mabuknya orang kampung sangat norak. Kalau dia sudah berani nunjuk-nunjuk muka orang lain, dianggap jagoan. Apalagi kalau ada orang baru di kampung ini, mereka mulai unjuk kehebatan dan kekuasaannya.

Seperti dikatakan Wak Rindu, Hikam tak segan-segan menyiksa lelaki pendatang sebagai tanda perkenalan. Inilah yang saya kawatirkan, saya pasti akan diplonco di depan anak-anak muda lainnya.

"Mengembara dikampung ini harus tahan angin malam, lebih-lebih bila hidupmu dipertaruhkan untuk mengarungi sungai hingga ke laut lepas," kata Hikam kemudian.

"Ya, ya, saya mengerti, Bang" jawab saya.

"Bagus! Orang-orang di kampung ini tahu dengan saya. Oh ya, apakah kamu mau ikut ke kapal saya?" Hikam menawarkan.

Saya masih ragu untuk sekedar menganggukan kepala.

"Saya tahu dalam pikiranmu," Hikam memegang tangkai golok yang terselip dipinggang kirinya. Sejumlah lelaki lainnya duduk-duduk sembari memandangi saya seperti orang aneh. Cara berbicaranya juga terdengar menertawakan saya. Memangnya diri saya ada yang aneh? Pikir saya. Saya bingung harus bilang apa pada sejumlah lelaki muda ini.

"Ha, ha, ha....! Kamu seperti tikus kecebur got. Mentalmu tempe. Siang-malam telah membesarkan orang-orang seperti kami ini. Untuk apa kamu merantau hingga keperkampungan ini, ha. Untuk apa? Mencari uang? Untuk mengawini perempuan-perempuan di perkampungan ini. Untuk mencari kekayaan berlimpah ruah? Untuk apa, ha. Saya belum pernah mendengar jawaban orang-orang perantau, kecuali keberanian menghadapi resiko terburuk di rantauan.''

Jantung saya mulai berdegub kencang. Saya manggut-manggut. Dalam hati membenarkan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Keberanian lelaki muda diperkampungan rantau ditepian sungai Sungsang, memang pelindung bagi perempuan-perempuan disana. Wajar di perkampungan ini tidak ada pria yang mencoba menggoda perempuan. Lebih-lebih lelaki pendatang. Tapi saya hampir tak percaya mendengar kabar para pendatang berlaku congkak dan keras kepala. Sebenarnya apa yang dilakukan para pendatang sebelum saya? Apakah mereka juga dihadapkan perasaan yang sama ketika melihat perempuan rantau mandi di sungai?" pikir hati saya.

"Untuk mempersunting perempuan di perkampungan ini ada persyaratan seratus nampan dan uang lamaran dua puluh lima juta rupiah," kata Hikam, "dan saya

hingga kini belum mampu membeli persyaratan itu untuk mempersunting Lagu Maringgi, gadis yang tinggal diparit tujuh perkampungan ini. Selain itu keluarga Lagu meminta 10 juta rupiah untuk lamarannya," kata Hikam lagi.

Nampaknya Hikam memendam dendam setelah tidak mampu mempersunting Lagu sebagai istrinya. Dia lalu memperlakukan adik kandungnya sendiri sebagai perempuan emas dimata lelaki diperkampungan rantau panjang. Siapa pun yang berani membayar mahal Dinda Sarumpit, penduduk asli perkampungan Rantau atau lelaki pendatang, dialah yang berhak mempersuntingnya sebagai istri.

"Saya agak sulit memahami tradisi orang sungai di perkampungan ini. Mengapa engkau memberi persyaratan setinggi itu? Bagaimana bila tidak ada orang yang mampu memenuhinya?" kata saya penuh kehati-hatian. Jangan-jangan apa yang saya katakan itu membuat perasaan lelaki bertubuh kekar di depan saya itu tersinggung. Saya sebenarnya jatuh hati dengan Dinda Sarumpit, adik kandung Hikam. Menurut saya, Dinda orangnya sederhana, tidak neko-neko, dan selalu tampil apa adanya. Saya suka itu. Zaman sinetron seperti sekarang ini rasanya sulit menemukan orang yang alamiah, berjiwa besar, dan berhati mulia. Rasanya sulit menemukan itu.

Zaman sekarang lebih pas dengan zaman sinetron, karena tiap hari suami istri bertengkar. Istri lebih sering membantah suami, bermusuhan dengan mertua dan hal-hal kepatutan sering dilanggar istri. Ini namanya sinetron guru malapetaka bagi keluarga. Apalagi dalam keluarga itu jauh dari cahaya Tuhan dan keimanan. Segala yang baik bisa diterjemahkan buruk dan yang buruk memperdaya kehidupan.

Mudah-mudahan perkenalan saya dengan Dinda tidak salah. Saya tidak hanya memperhatikan Dinda di hamparan gelombang sungai Sungsang saja, tapi Dinda orang yang taat beribadah. Tidak pernah tinggal shalat dan membaca alqur’an tiap malam habis magrib. Itu artinya dia lebih dekat dengan cahaya Tuhan dan jauh dari godaan yang bersifat duniawi. Hmm, hatinya selalu bertabur bunga syurga. Dan ketika pertama saya berjumpa dengannya, tak sepatah kata pun yang bisa saya ucapkan, kecuali semilir angin membasuh rambutnya yang bergerai panjang. Gelombang bulat bermunculan setelah daun-daun jatuh berguguran. Ikan berwarna-warni pun berlompatan seperti sedang bersuka ria. Rasanya, saya jatuh cinta pada Dinda Sarumpit.

****

Kampung Rantau dan Sungsang memberikan hati dan pikiran saya terbuka lebar. Orang-orang yang saya kenal telah mendewasakan saya untuk mengerti arti kehidupan ini. Mungkin Wak Rindu juga mempercayai apa-apa yang saya katakan, bahwa mimpi buruk akan selalu bersemanyam dihati siapa saja. Tak terkecuali ingatan saya yang tertuju pada masa lalu.

Masa lalu adalah guru. Begitu kata Wak Rindu suatu hari. Hikam yang saat itu berada di sebelah Wak Rindu asyik merajut jala. Pertemuan kami dengan teman-teman di perkampungan Rantau suku anak sungai, merupakan pertemuan yang sangat akrab dan penuh kenangan. Ada kerinduan, kebahagiaan, sekaligus kebencian yang teramat sangat. Sebab saya tak mungkin bisa mempersunting perepuan cantik di perkampungan ini hanya berbekal cinta asmara. Saya tak mampu membeli songket, kain sulam emas yang harganya jutaan rupiah. Barang belanjaan seratus nampan dan uang lamaran 25 juta rupiah.

Menjadi guru honorer saja gajinya dibayar pertiga bulan sekali. Bagaimana saya bisa mengumpulkan uang? Kalau saya tidak banting stir cari kerja sampingan menjadi penulis lepas, selamanya saya akan jadi bujang tua.

Mungkin saja saya bisa mempersunting Dinda, mungkin juga tidak. Kalau saja saya harus mempersuntingnya, mungkin saya hanya mempertaruhkan predikat saya sebagai guru. Sebab di kampung jabatan guru masih dipandang terhormat, meski secara materi menjadi guru terpencil bukanlah hal yang membanggakan. Dengan predikat itu tidaklah dapat menyambung kata hati yang bertaut penuh suka cita. Dalam hidup ini juga tak cukup dengan berbekal cinta asmara semata.

Saya tidak tahu mengapa wajah Dinda begitu kuat mengganggu pikiran saya. Apakah karena pondokan tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Dinda, sehingga saya selalu melihatnya? Saya tidak tahu. Padahal banyak juga perempuan yang saya kenal di perkampungan ini, ada Nora, Yetti, Midah, Inoeng, Upik dan Bunga. Diam-diam keempat teman saya juga punya pikiran yang sama, yaitu suka dengan Dinda. Nah ini yang saya kawatirkan menjadi malapetaka diantara saya dan teman-teman saya. Mereka semua tahu kelebihan Dinda, malah Hamdi sampai tahu warna kesukaan dan lagu-lagu favorit Dinda. Busssett!

Midi tak mau kalah. Dia juga ingin menunjukkan bahwa dirinya juga punya perhatian sama Dinda.

‘’Yang saya tahu, Dinda itu pintar. SMA-nya selalu ranking satu. Dia juga anak kuliahan,’’ kata Midi setelah kami berempat menjauh dari tongkrongannya Hikam cs.

‘’Lho, kok kamu sudah sejauh itu mengerti tentang Dinda?’’ tanya saya heran.

‘’Laki-laki pintar biasanya cepat menangkap wajah-wajah pintar. Minimal punya firasat dan kemampuan menelaah,’’ sahut Midi.

‘’Semprul kowe. Tamat Sekolah Pendidikan Guru saja bangga. Ngaku pintar. Mending saya, pernah mengenyam bangku kuliah. Pernah belajar ilmu dakwah. Jelek-jelek seperti ini mantan Fakultas Dakwah IAIN Raden Fatah Palembang, calon kyai,’’ saya tak kalah sombong.

‘’Sudah-sudah, semua gak ada gunanya. Apanya yang kalian sombongkan. Orang desa ya kembali ke desa. Kerjanya tidak jauh-jauh dari mengajar atau jadi buruh tani. Malah lebih tragis lagi, merantau buruh serabutan. Jadi, intelek kalian juga gak ada faedahnya,’’ celetuk Hamdi seolah-olah mementahkan kebanggaan yang saya agung-agungkan tadi.

‘’Kita hanya membicarakan Dinda. Saya pikir kita semua memang jalur nasibnya seperti ini,’’ potong Midi.

‘’Ya, ya, justru itu yang kita bicarakan. Dinda meski orang pelosok desa, tapi pemikirannya kota. Setidaknya dia pernah kuliah, tapi baru semester tiga langsung drop out (DO) karena bapaknya meninggal dunia. Praktis yang membiayai kuliahnya tidak ada. Sedangkan kakak tertuanya, Hikam, malah masa bodoh dengan Dinda,’’ sahut Hamdi.

‘’Gila, ternyata kalian diam-diam menghanyutkan juga, ya!’’ saya menuding wajah Hamdi.

‘’Itu hanya naluri laki-laki saja kok, Pras,’’

‘’Saya salut padamu, Ham.’’

‘’Lho, apanya yang disalutkan?’’

‘’Ya otakmu, ternyata kucing garong juga, hahaha….’’ saya tertawa.

‘’Sssssttt….! Jangan keras-keras, didengar Hikam, mampus kita,’’ Hamdi menempelkan jemarinya diantara dua bibir.

Hikam sesekali melirik kearah kami berempat. Mungkin dia tahu kalau saya dan teman-teman sedang membicarakan Dinda Sarumpit.

Kemudian Hikam menghampiri kami berempat. Gaya preman kampungnya mulai diperlihatkan.

‘’Apa yang kalian bicarakan?’’ tanya Hikam ketus. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam dan memperhatikan kami penuh curiga.

"Bagaimana rencana tunanganmu dengan Lagu Maringgi, Bang?" saya mencoba mengalihkan pembicaraan..

"Ya, saya sudah mempersiapkannya. Saya sudah bekerja keras siang dan malam. Saya akan dapat keberuntungan besar dihari kemudian," jawab Hikam.

"Bila saatnya nanti Abang dapat mempersunting Lagu?"

"Berarti saya telah menguasai dirinya," jawab Hikam.

"Abang akan menyia-nyiakannya?"

Hikam tercekat. Teman-teman saya terlihat ketakutan.

"Kamu bilang apa?"

"Mmm…bila Abang telah berhasil mempersuntingnya, akan Abang kuasai dirinya?"

Mendengar kata-kata saya ini membuat Hamdi salah tingkah. Begitu juga Midi dan Badrun, selalu menyenggol lengan saya dengan maksud tidak melanjutkan jawaban yang dapat memancing kemarahan Hikam.

"Saya katakan. Saya yang berkuasa. Terserah saya nantinya," tegas Hikam.

"Apakah Abang akan perlakukan seperti si Rokyat mengarungi laut? Akan Abang pekerjakan sebagai nelayan?'' Saya berusaha menggiring pertanyaan ini agar Hikam tersinggung. Ternyata Hikam benar-benar tersinggung. Sementara teman-teman saya tidak tahu apa yang sudah saya rencanakan, meski rencana ini sangat konyol.

"Lancang kamu bicara. Bukankah kamu lelaki pendatang? Masalah rumah tangga saya, adalah urusan saya. Dan saya akan membayar mahal sebuah perkawinan."

"Bagaimana bila saya membayar mahal adik Abang, Dinda Sarumpit, sebagai istri saya kelak. Apakah Abang rela saya memperlakukan seperti Abang memperlakukan Lagu? Dia benar-benar diperbudak oleh suaminya sendiri. Dia dipaksa bekerja menarik sampan dan menjaring ikan di tengah laut. Pulang dini hari lalu dipaksa melayani suami di rumah. Bagaimana perasaan Abang melihat hal seperti itu? Bukankah kewajiban suami memberi nafkah Istri?" Hikam bangkit dengan sorot mata jalang. Tanpa babibu langsung melayangkan tinjunya kemuka saya. Dua kali tendangan kakinya mendarat ke perut saya. Sungguh, saya rasakan rahang saya seperti copot. Perut saya terasa mual dan pandangan mata saya berkunang-kunang.

"Dengar! Kalian jangan sok jadi pahlawan ya. Bila kamu mampu membayar mahal Dinda, kawinilah dia. Setelah itu terserah apa maumu!" Hikam berkata lantang, "Dan ingat, jika kamu tidak mampu mebayar mahal, kamu akan mengalami nasib seperti lelaki pendatang sebelum dirimu."

"Ma, maafkan saya, Bang. Saya pasti akan mengawini Dinda sebagai istri saya. Tapi saya tidak mampu membayar mahal dengan harta benda secara tunai. Tapi akan saya pertaruhkan tenaga saya untuk mengarungi laut lepas bersama Abang. Saya tak akan meminta upah sedikitpun, kecuali Abang kawini Lagu dengan upah saya. Mungkin saya akan membayar mahal Dinda dengan cinta saya, Bang.''

"Bedebah! Kamu memang gila datang ke kampung ini. Kamu harus enyah sekarang juga!" Hikam makin berang. Dia mulai menghunus goloknya setelah meludah ketanah. Untung Wak Rindu cepat menengahi..

"Biarkan lelaki itu enyah di sungai. Saya sudah berkali-kali memperingatkan agar tidak berbuat onar ditempat ini. Saya sudah katakan pada dirinya sungai Sungsang akan membuatnya bingung mengerti muaranya,'' Wak Rindu berdiri sembari membusungkan dada.

"Saya sungguh mencintai perempuan perkampungan Rantau. Sama cintanya dengan Wak Rindu dan Hikam pada Rantau. Bukankah membayar mahal sama artinya membayar diri sendiri untuk bekal mengarungi rumah tangga? Benarkah membayar mahal itu bukan untuk memanjakan nafsu dan menguasai orang lain. Disadari ataupun tidak, tradisi ini telah mengajari lelaki pendatang untuk berbuat kejam.''

Mata Hikam menatap lekat-lekat kearah saya. Begitu juga wak Rindu dan sejumlah lelaki muda yang saat itu bersiap-siap melaut. Sementara Dinda Sarumpit yang sejak tadi berdiri dijendela rumah panggungnya, juga terlihat makin gundah..

''Saya akan melaut. Percayalah, Dinda akan menjadi perempuan mahal di perkampungan tanpa cinta, kecuali Abang memahami arti cinta yang sesungguhnya,'' Saya berempat langsung meninggalkan mereka menuju jamban. Tanpa bekal apa-apa, Sampan yang saya dayung pun meluncur membelah gelombang sungai menuju muara. Saya merasa bahwa kedatangan saya bukanlah kabar lelaki pendatang yang congkak dan sombong. Suatu saat perkampungan Rantau sungai Sungsang pasti tak selalu bertabur bunga kematian, tetapi bunga cinta yang sesungguhnya.

***

Dua Minggu kemudian, rencana pernikahan Hikam dengan Lagu Maringgi, benar-benar akan terjadi. Hikam bahkan akan melamar Lagu dengan lamaran nikah kebo, istilah nikah besar-besaran dengan memotong seekor kerbau. Nikah seperti ini biasanya dilakukan pada orang-orang kaya yang tidak mengawalinya dengan proses perkenalan atau istilah sekarang adala pacaran. Nikah kebo adalah nikahnya orang kaya yang tidak perlu diragukan lagi. Untuk itulah calon istri hanya menurut apa kata orangtuanya.

Hikam tak peduli bagaimana sesudah menikah nanti. Sebanyak 50 juta rupiah sudah disiapkan hanya untuk memeriahkan dirinya menjadi raja sehari bersama Lagu Maringgi, putri keluarga Cek Wan, Dusun Parit Tujuh. Padahal uang sebanyak itu merupakan hasil hutang pada Yakub Akip, bos pelelangan ikan dari Muara Padang. Yakub Akib memberi waktu hanya sebulan pada Hikam, setelah menikah harus dilunasi. Sebab uang itu adalah uang untuk melelang ikan.

Bagi Hikam, yang terpenting hari ini. Masalah besok brejo! Artinya masalah besok, dipikir besok. Lagu Maringgi adalah gadis cinta mati bagi Hikam dan tidak tergoyahkan. Orangnya selain seksi, juga pintar menyanyi. Dia sering disuruh menyanyi diatas panggung dalam rangka memeriahkan pesta pernikahan di kampung-kampung. Orang kampung Rantau menjulukinya artis Parit Tujuh. Wajar banyak lelaki kenal dengan Lagu, termasuk Hikam yang juga ngefans berat. Bahkan tergila-gila.

Tapi setelah seminggu menikah, Lagu sempat pulang ke rumah orangtuanya lantaran bertengkar dengan Hikam. Lagu sangat keberatan dimintai Hikam 50 juta rupiah untuk membayar hutangnya pada Yakub Akib, toke ikan Muara Padang.

Bagi Lagu, apapun yang dilakukan Hikam sebelum menikah adalah tanggungjawab Hikam, termasuk hutang untuk biaya menikah. Keluarga besar Hikam dan keluarga besar Lagu tidak ada perjanjian apapun mengenai biaya menikah, kecuali semua biaya ditanggung Hikam. Pada prosesi lamaran, para hadirin sudah menyaksikan kesediaan Hikam membayar semua biaya nikah termasuk lamaran 25 juta rupiah. Hikam menyetujui semua persyaratan tak tertulis itu. Para hadirin pun menyaksikan dan setuju.

Tapi apa yang dilakukan Hikam setelah menikah? Tak ada jalan lain bagi Hikam untuk membayar hutangnya pada Yakub Akib, kecuali meminjam kembali uang yang sudah diserahkan orangtua Lagu sebagai bukti lamaran. Ini tidak mungkin. Orangtua Lagu bakal menolak permintaan Hikam. Bahkan bisa dinilai Hikam tak bertanggungjawab terhadap pernikahannya.

Hari-hari yang dilalui Hikam dan Lagu selalu diwarnai pertengkaran. Wak Rindu berkali-kali sudah menasihati Hikam, jalan keluarnya adalah Hikam menjual sesuatu untuk melunasi hutangnya pada Yakub Akib. Misalnya kapal motornya sebagai jaminan dan lain-lain. Tapi Hikam tak mau. Dia ngotot minjam uang yang pernah diserahkan pada orangtuanya sebagai bukti lamaran itu.

Situasi rumah tangga pun menjadi tegang. Situasi seperti inilah yang paling tidak disukai perempuan sungai kampung Rantau. Habis menikah, selalu ada saja yang diributkan, terutama masalah uang. Tiap malam juga selalu ribut. Seharusnya pada malam hari bagi pengantin baru, merupakan hari yang sangat menyenangkan, tapi bagi Lagu, merupakan neraka yang membuat dirinya seperti dipanggang bara api. Stress dan membuat kepala seperti mau pecah.

****

Siang itu masyarakat tampak berduyun-duyun menuju balai desa. Mereka sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kenduri besar. Seekor kerbau dan kambing sudah disiapkan untuk dikorbankan. Wak Rindu yang saat itu mengasah golok, tiba-tiba dikejutkan oleh salah seorang warga yang tersungkur di sebelahnya.

''Tolong Wak, tolong! Saya mau dibunuh…'' kata Lagu Maringgi sembari memegangi pinggangnya yang berlumuran darah. Wak Rindu masih bengong di depannya. Kedua matanya tak berkedip menatap darah yang mengucur deras dari sela-sela telapak tangan yang membekap satu lubang selebar tiga jari di pinggang kiri Lagu.

''Hikam yang melakukan ini. Tolong, tolong Wak, dia sedang menuju ke mari,'' Lagu berusaha berdiri sembari memegangi tangan Wak Rindu. Tapi tak mampu. Lagu kembali tersungkur ke tanah sambil terus meraung-raung kesakitan. Beberapa warga kampung yang melihat peristiwa itu langsung menjerit. Mereka panik, lari ke sana ke mari mencari bantuan. Tapi mereka bingung apa yang harus dilakukan untuk menolong Lagu yang sedang mengerang kesakitan.

Suasana kampung yang memang ramai mempersiapkan hajatan desa, makin ramai setelah Hikam tiba-tiba sudah berada di tengah-tengah kerumunan mereka. Golok terhunus masih dipegang sambil diayun-ayunkan. Matanya merah nanar seperti ingin membantai siapa saja yang mencoba menghalang-halangi keinginannya.

''Hai orang-orang kampung. Lihat, lihat dia….'' Hikam menunjuk Lagu yang sedang sekarat di atas gendongan Wak Rindu.

''Saya telah membayar mahal sebuah perkawinannya. Tapi kini saya harus membayarnya lagi dengan darah. Apakah salah bila saya melakukan ini? Dia istri saya yang saya cintai. Tapi dia mengkhianati cinta saya. Hukuman yang setimpal untuk Lagu adalah kematian,'' kata Hikam lantang. Tak seorangpun yang berani menghalangi langkah Hikam yang saat itu menuju ke arah Wak Rindu.

''Lagu sedang sekarat, Hikam. Apakah kamu masih belum puas?'' sergah Wak Rindu.

''Ini perkampungan Rantau sungai Sungsang. Kita semua dibesarkan oleh tradisi kampung,'' jawab Hikam dengan tangan bergetar menenteng golok.

''Lagu harus mati ditangan saya untuk mengembalikan martabat saya yang dicampakkan,'' lanjut Hikam sambil mengacungkan goloknya ke arah wajah Wak Rindu.

''Kamu tak perlu membunuh Lagu, sebab nyawanya sudah lepas dari tubuhnya. Dia mati di atas gendongan saya,'' kata Wak Rindu sambil memandangi tubuh Lagu yang sudah tak bergerak itu.

''Jangan halangi saya, Wak.''

''Dia sudah menjadi seonggok daging tak bernyawa, tak perlu kau bunuh lagi,'' Wak Rindu berusaha mencegah.

''Saya bilang jangan halangi saya.'' Wak Rindu mulai kehilangan kesabaran. Mata Wak Rindu tajam membalas tatapan mata Hikam yang memerah nanar.

''Kalau kamu mau, bunuhlah saya,'' tantang Wak Rindu sambil meletakkan mayat Lagu ke tanah. Suasana makin mencekam ketika Hikam mulai berkoar-koar ingin menghabisi siapa saja yang menghalanginya, termasuk Wak Rindu yang selama ini dipercaya sebagai kepala kampung.

Beberapa warga kampung berlarian untuk menghindari perkelahian berdarah itu. Mereka hanya berani menyaksikan peristiwa itu dari seberang jalan. Sementara para pemuda yang lain tak berani mencegahnya. Dan kini persoalan Hikam tak lagi sekedar persoalan rumah tangganya, tetapi menyangkut ketersinggungan Wak Rindu si kepala kampung itu. Dan bila keduanya terjadi perkelahian hebat, dipastikan tak ada seorangpun yang berani memisah.

Wak Rindu meraih goloknya yang baru saja diasah untuk memotong kerbau. Golok khas yang tangkainya terbuat dari kayu nibung berukir kepala naga itu, sudah memakan korban puluhan kerbau, terutama bila ada hajatan desa. Cringgg…..suara nyaring, menandakan bahwa golok itu terbuat dari baja tipis yang memiliki ketajaman luar biasa. Sekali asah, ketajamannya bisa membuat darah berdesir.

‘’Sudah saya peringatkan agar kau tidak lancang pada saya. Bunga kematian harus segera dipupus dari batangnya. Dan ternyata kaulah bunga kematian selama ini,’’ kata Wak Rindu sambil mengacungkan goloknya ke arah Hikam.

‘’Biar orang kampung tahu, Lagu bukanlah seperti orang kampung yang kita kenal. Lagu telah menantang saya sebagai seorang suami. Lagu telah membantah nasihat saya. Lagu telah mendurhakai terhadap suaminya. Apa saya salah? Dan kini Wak Rindu akan membela Lagu, berarti Wak Rindu tidak lagi sebagai panutan. Baik kalau memang bunga kematian harus pupus malam ini. Dan siapa sebenarnya pangkal bunga kematian itu…’’ Hikam tak kalah lantang.

Dengan gerakan lamban, Wak Rindu sebenarnya sudah tidak cocok lagi sebagai jagoan kampung. Masa jayanya telah habis, kini tinggal nama besarnya saja sebagai tokoh paling disegani lantaran ketika muda mampu melawan perompak dan para penjahat yang menjarah perkampungan Rantau sungai Sungsang.

Hikam tampak meremehkan jagoan tua itu mengambil langkah kuda-kuda. Golok terhunus dilipat ke garis lurus sikunya. Seolah-olah Wak Rindu tak bersenjatakan apa-apa. Gerakan lembut tapi pasti, mengikuti irama gerakan pencak silat khas Melayu yang meliuk-liuk. Gaya pencak silat sejati.

Suasana kampung pun benar-benar terlihat tegang. Semua orang menghindar dan mengunci rapat rumahnya masing-masing. Mereka hanya mengintip lewat sela-sela jendela selebar dua jari.

Hikam mulai menyerang dengan dua kali sabetan goloknya, criiiinnnng….! Bunyi yang cukup nyaring itu ternyata beradu dengan golok milik Wak Rindu. Tak kalah cekat, Wak Rindu memutar badannya setengah jongkok, lipatan tangan yang menyembunyikan golok terhunus dikembangkan bagai sayap seekor belalang yang hendak terbang. Weeesss….! Dua golok beradu hebat. Tapi Wak Rindu salah langkah, ujung golok Hikam pun berhasil menggores bahu kiri Wak Rindu sepanjang 10 centimeter. Darah segar mulai tumpah membasahi sarung yang diikatkan di pinggang Wak Rindu.

Hikam mulai pintar membaca gerak Wak Rindu. Diperkirakan satu langkah lagi Wak Rindu roboh, terutama bila mengenai batang leher atau mengoyak isi perutnya. Meski dengan satu goresan yang dalam, Hikam sudah menang satu langkah yang membuat Wak Rindu agak gugup. Sambil mengusap darahnya yang menetes di bahu kiri, Wak Rindu berusaha mengatur tekanan emosinya.

‘’Baik, hutang darah harus dibayar darah…’’ Wak Rindu kembali menggertak sambil melepas sarung yang melilit di pinggangnya. Kali ini Wak Rindu tak mau kecolongan arah serangan. Begitu Hikam mengayunkan goloknya, Wak Rindu cepat melemparkan sarung ke arah Hikam. Secara reflek Hikam menangkisnya dengan golok tajam. Tipuan Wak Rindu ini ternyata cukup ampuh. Hikam tak sadar kalau tangkisannya itu justru membuat goloknya terlilit sarung. Sebuah jebakan yang cerdik bagi Wak Rindu.

Tanpa buang waktu Wak Rindu langsung menyarangkan tendangan hingga golok Hikam terpental sejauh tiga meter. Kali ini posisi Hikam telah mati. Golok ditangan Wak Rindu tinggal menunggu waktu untuk diayunkan ke leher Hikam. ‘’Sekarang saatnya kau menyusul Lagu. Hutangmu akan saya lunasi hari ini…’’ Wak Rindu mengangkat goloknya setinggi telinga.

Sejurus kemudian Dinda Sarumpit tiba-tiba menjerit. Wak Rindu mengurungkan niatnya untuk mengayunkan goloknya. Tapi posisi Wak Rindu masih tak berubah—masih menempelkan ujung goloknya di leher Hikam. Suasana benar-benar tampak mencekam karena emosi Wak Rindu masih membara, terlihat tubuh Wak Rindu pun bergetar hebat. Wak Rindu sangat berhati-hati, bila Hikam ini dilepas bisa berbalik menyerang dirinya dan orang lain.

‘’Maafkan Abang, Wak. Jangan dilanjutkan. Serahkan kepada polisi saja,’’ ujar Dinda setengah memekik. Wak Rindu melirik ke arah Dinda, namun tidak mengubah posisinya. Sedikit saja Hikam bergerak, dipastikan lehernya tergores. Artinya meskipun Wak Rindu tidak membunuhnya, Hikam bisa mati sendirinya bila berani berontak. Wak Rindu memang pendekar hebat!

‘’Akar bunga kematian selama ini ada dalam diri Hikam. Sudah berapa kali selalu bermuara pada Hikam. Ini adalah akarnya, harus kita bersihkan dari perkampungan ini,’’ sahut Wak Rindu.

‘’Kita tak perlu saling membunuh, Wak. Keadaan seperti ini tak akan merubah perkampungan ini menjadi damai. Bunga kematian akan terus berguguran sepanjang tahun, selama kita mengedepankan kekerasan sebagai keputusan terakhir,’’ ujar Dinda lagi.

‘’Sudahlah, kamu diam saja. Sekarang saya akan panggil orang kampung untuk menyaksikan pemandangan ini. Hei orang-orang kampung, keluarlah dari dalam rumah kalian masing-masing. Ayo kemarilah, ‘’ kata Wak Rindu dengan suara lantang. Tak lama kemudian warga kampung berkumpul seperti mengepung dua manusia yang selama ini menjadi pusat masalah.

‘’Semua warga kampung Rantau, apa yang harus saya lakukan. Hari ini saya tidak akan melakukan apa-apa kecuali semua warga menghendaki. Apa yang harus saya lakukan hari ini. Ayo jawab….’’ pinta Wak Rindu.

Suasana benar-benar tegang. Tak ada seorang wargapun yang berani usul. Bila warga menghendaki bunuh, Wak Rindu tak akan berpikir panjang, dia akan langsung mengayunkan goloknya menggorok leher Hikam. Tapi semua warga justru diam. ‘’Sekarang apa yang harus saya lakukan, ayo jawab sekarang….’’ pinta Wak Rindu lagi.

’’Kita tak perlu saling membunuh, Wak…’’ kata Dinda lagi diantara kerumunan warga kampung. Lantas warga kampung pun mendukung permintaan Dinda.

‘’Ya, kita tak perlu saling membunuh, Wak…’’ beberapa warga kampung berkata seperti yang dikatakan Dinda.

‘’Kalau begitu, saya akan menuruti keputusan bulat warga kampung. Bunga kematian kita kubur hari ini. Ingat Hikam. Hari ini kamu telah mati, padahal kamu tahu hari ini merupakan kenduri besar warga kampung untuk mensucikan kampung ini dari dosa-dosa. Mereka telah menyiapkan seekor kerbau sebagai korban. Dan kamu sendiri yang mengambil alih korbannya. Sekarang tinggal kamu, apakah masih mengingkari pengampunan warga kampung, atau tetap keras kepala. Mereka semua berada di belakang saya,’’ kata Wak Rindu.

‘’Ma, ma, maafkan saya Wak. Mohon jangan bunuh saya. Saya akan kembali ke jalan yang benar,’’ jawab Hikam terbata-bata.

‘’Bila suatu hari ada apa-apa dengan saya?’’ Wak Rindu berkata sembari memandangi warganya.

‘’Warga kampung akan bertindak lebih kejam. Bila dalam tiga hari Wak Rindu hilang dari perkampungan, warga kampung akan meminta pertanggungjawaban Hikam atas dasar dendam kekalahannya,’’ jawab salah satu warga kampung, yang masih keponakan wak Rindu.

Wak Rindu lalu menjauhkan goloknya yang menempel di leher Hikam. Permasalahan menang atau kalah, bukanlah akhir sebuah tragedi perkampungan Rantau. Bukan pula akhir dari dosa-dosa yang dilakukan Hikam. ‘’Hari ini kita semua telah berkabung. Ini bukan akhir sebuah permasalahan. Proses selanjutnya, Hikam harus menebus kesalahannya di kantor polisi,’’ kata Wak Rindu.

Oleh masyarakat kampung Rantau, Hikam lalu digelandang ke kantor polisi untuk menjalani proses hukum atas pembunuhan terhadap isterinya. Tampaknya Hikam benar-benar sangat beruntung karena memiliki nyawa rangkap dua. Kalau saja Dinda tidak ada di tempat kejadian, riwayat Hikam sudah selesai diujung golok Wak Rindu.

***

Masyarakat kampung Rantau meneruskan upacara adat bersih desa yang mestinya diselenggarakan tiga hari lalu. Suasana berkabung masih terasa. Tidak ada sendau gurau diantara kita. Semua diam. Mereka berbicara seperlunya. Suasana seperti ini biasanya berlangsung selama tujuh hari, bersamaan nujuh hari kematian Lagu Maringgi.

Saya menangkap suasana kaku ini tak lain gejolak psikologi keluarga besar Cek Wan, orang tua Lagu. Mereka semua tidak terima Lagu diperlakukan seperti itu oleh Hikam. Mereka menyadari Lagu telah menjadi istri Hikam, segala sesuatunya telah jadi tanggungjawab Hikam. Namun dalam hal pembunuhan, siapapun akan merasakan duka yang mendalam, terutama mereka yang tertaut sedarah sedaging.

Apakah keluarga Lagu akan menuntut balas. Kakak tertua Lagu, Jaeng, yang kelihatannya sangat terpukul. Jaeng sebenarnya tak beda dengan Hikam yang punya pembawaan angkuh dan sombong. Kematian Lagu, dirasakan sangat mencoreng harkat dan martabat keluarga besarnya.

Wak Rindu sudah siap ditenda penyembelihan korban. Seekor kerbau jantan gemuk mulai digelandang ramai-ramai. Dinda dan ponakan Wak Rindu, Hamidah, sibuk membuat tungku dari batang pohon pisang. Mereka tak jauh dari tempat Wak Rindu.

Saya mencoba membantu kerepotan Dinda mengumpulkan kayu bakar. Mencoba menjauhi orang-orang yang sedang dilanda amarah. Apa yang saya lakukan ini belum tentu dinilai benar oleh orang lain. Tapi dengan tidak melakukan apa-apa, posisi saya sebagai seorang pendatang bisa dinilai keras kepala dan sombong. Serba salah memang.

Dinda terlihat jarang bercakap-cakap meski mereka berdua bersama Hamidah, keponakan Wak Rindu. Mereka saling diam. Begitu juga orang-orang kampung lainnya. Saya merasakan aura kampung sangat sumpek. Suasana seperti inilah ibarat api dalam sekam, bila ada sedikit yang menyulut, langsung membara.

‘’Dinda…’’ saya mencoba mendekati Dinda. Membuang rasa sumpek.

‘’Ada apa mas Pras. Kenapa kamu tidak ngumpul di tempat pemotongan korban,’’ jawab Dinda.

‘’Saya tidak tega melihatnya,’’ jawab saya singkat.

‘’Sebagai seorang laki-laki harus berani. Pemotongan korban adalah peristiwa adat. Menguji mental. Ini sudah dilakukan sejak dulu,’’ ujarnya.

Saya manggut-manggut. Wajar mereka jadi laki-laki pemberani, termasuk berani berbuat kejam, pikir hati saya.

‘’Untuk menjadi seorang pemberani kan tidak harus berani menyaksikan peristiwa tragis,’’ jawab saya.

‘’Setidaknya dengan melihat peristiwa mengerikan, akan membuat mental menjadi kebal,’’ kata Dinda.

‘’Kebiasaan seperti itu harus diubah. Sensitifitas perasaan harus diasah lewat ilmu dunia dan akhirat. Lewat pengajian. Mendengarkan ceramah agama. Beribadah yang tekun dan ikhlas, salat lima waktu jangan ditinggalkan,’’ saya mencoba memberikan pengertian. Kesannya memang menggurui. Tapi Dinda sepertinya menerima apa yang saya katakan.

‘’Sudahlah nggak usah dibahas. Di sini semua orang ke surau. Rajin beribadah, rajin salat, mereka juga mendengarkan ceramah agama,’’ Dinda berlalu. Tapi sempat menatap mata saya agak lama. Kali ini darah saya terasa berdesir. Lebih berdesir dari mendengar cerita-cerita tragis lainnya.

‘’Eh, sebentar Dinda. Saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya kakak iparmu. Dan merasa prihatin setelah Hikam ditahan polisi. Emm….’’ Pembicaraan saya terputus. Dinda menangkap kata-kata saya itu, tak lain adalah gombal belaka. Sok perhatian terhadap orang lain yang kesusahan. Tapi apapun penilaian Dinda, saya juga menangkap beban hidup bakal dipikul Dinda dikemudian hari. Sebab Dinda kini tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali ibunya yang kini sudah sangat tua. Sedangkan Hikam yang diharapkan sebagai tulang punggung keluarga, kini mendekam di penjara.

‘’Pras, sini,’’ tiba-tiba Hamidah memanggil saya.

‘’Ada apa, Midah,’’ kata saya.

‘’Sebaiknya jauhi kami. Gak enak dilihat orang kampung. Mereka sedang sibuk gotong royong. Kalau hatimu sedang berbunga-bunga, jangan terlalu diperlihatkan,’’ kata Hamidah.

‘’Ah, bercanda kamu, Midah.’’

‘’Saya serius. Lupakan dulu hari ini. Kita menghormati situasi berkabung.’’ Hamidah berusaha tersenyum.

‘’Trima kasih Midah.’’

‘’Sudahlah, kamu ikut gabung bapak-bapak sana,’’ pinta Hamidah lagi.

‘’Ya, ya saya ke sana,’’ kata saya.

Seekor kerbau jantan gemuk milik warga kampung Rantau sudah tergolek berlumuran darah. Masyarakat sudah memotong-motongnya. Sebagian membersihkan isi perut dan memotong-motong tulangnya. Sedangkan wak Rindu duduk termenung di bawah tenda sembari menghisap rokok dalam-dalam. Meski ditemani ponakannya, Wan Maliki, Wak Rindu tidak banyak bercerita. Disampingnya secangkir kopi dan ubi rebus juga terlihat belum disentuh.

Yang dipikirkan Wak Rindu adalah bunga kematian masih terasa mengusik. Biasanya setelah ada kejadian, kejadian berikutnya menyusul. Karena kasus semacam ini selalu berantai. Mendamaikan orang kampung yang terluka hatinya tidaklah cukup dengan menyerahkan ke polisi agar diproses secara hukum. Wak Rindu mengkhawatirkan kejadian berikutnya adalah keluarga besar Cek Wan terhadap keluarga besar Hikam, terutama Hikam yang jadi akar kematian Lagu.

Wak Rindu menatap ke arah saya. Lalu melambaikan tangan tanda memanggil saya.

‘’Ada apa Wak,’’ tanya saya.

‘’Kamu orang pendatang. Saya sudah tahu kamu suka dengan Dinda,’’ kata Wak Rindu tanpa basa-basi. Saya terkejut. Salah tingkah.

‘’Emm….’’ Saya ragu-ragu meneruskan pembicaraan.

‘’Ini bisa jadi masalah bagimu.’’ Wak Rindu memperingatkan.

‘’Lho, kenapa Wak…’’

‘’Dua keluarga yang bertaikai, apalagi sampai pada kematian, biasanya menjadi dendam berkepanjangan. Ini sulit untuk diatasi.’’

‘’Apa hubungannya dengan saya Wak…’’

‘’Jelas ada. Bila kamu serius memperistri Dinda dihari kemudian, kamu masuk dalam keluarga besar Hikam. Dan kamu akan menanggung akibatnya, kecuali kamu membawa pergi keluarga besar Dinda dari perkampungan ini.’’

‘’Mungkin saya akan mengawini Dinda, Wak.’’

‘’Ya, seperti katamu.’’

‘’Saya akan mengawini Dinda dengan cara yang sederhana. Bukan seperti yang selama ini menjadi kebiasaan orang kampung Rantau.’’

‘’Saya mengerti. Kamu pendatang yang tidak hanya pemberani, tapi juga pintar. Kebaranianmu ada dasarnya. Keberanian orang pintar adalah pahlawan sejati dalam hidup ini.’’

‘’Wak Rindu jangan berlebih-lebihan menyanjung saya.’’

‘’Nanti akan saya umumkan, bahwa kamu meminang dan memperistri Dinda hanya dengan ketulusan cinta, bukan karena harta. Perkampungan ini menjadi kacau karena kebiasaan yang salah.’’

Saya tersenyum. Impian saya memperistri Dinda bakal kesampaian.

***

Warga kampung Rantau Sungsang ini termasuk makmur. Warganya punya dua mata pencarian pokok, sebagai nelayan dan petani sawah. Dua-duanya cukup menghasilkan.

Ikan yang didatangkan dari Sungsang biasanya ikan sembilang, baung, dan beberapa ikan air payau lainnya termasuk udang satang dan cumi-cumi. Aktivitas masyarakat cukup ramai, terutama pada pagi hari di tempat pelelangan ikan. Juragan ikan, atau kalau orang Melayu Palembang bilang tauke ikan, hanya bersifat menunggu, lalu membayari ikan-ikan yang sudah ditimbang.

Ada yang mencuri perhatian dari aktivitas itu, tak lain adalah cara berdandan gadis-gadis kampung Rantau, baik pergi ke pasar, pelelangan ikan, ke sawah maupun melaut. Bila di kota kita melihat gadis-gadis berdandan superseksi, dengan mike up termahal dan pamer pusar, tapi kalau di kampung Rantau kita melihat manusia seperti bertopeng dengan pakaian rapat membungkus tubuhnya. Mereka memakai bedak pupur tradisional. Saking tebalnya bedak yang dipakai, sulit kita mengenali mereka.

Saya penasaran dengan kebiasaan ini. Kenapa mereka tidak memperlihatkan wajah aslinya ketika berada di tempat umum? Mereka baru membasuh bedaknya ketika aktivisnya selesai atau mau tidur.

‘’Sebenarnya tidak ada yang aneh. Yang mereka pakai itu adalah masker,’’ kata Palauk.

‘’Sejauh itukah. Tahu manfaat masker juga?’’

‘’Kebanyakan orang menganggap rendah sesuatu yang ada di kampung. Masyarakat tradisional justru lebih dulu tahu kegunaan masker ketimbang masyarakat kota. Segala macam kosmetik awalnya berasal dari desa. Bedanya cara pengelolaannya,’’ lanjut Palauk.

‘’Ya, saya tahu itu masker. Tapi kok warnanya kuning, mirip ikan asin digoreng pakai tepung, hahaha….?’’

‘’Jangan kamu ulangi lagi perkataanmu itu.’’

‘’Maaf, keceplosan. Maksud saya itu dibuat dari apa…’’

‘’Umbi rumput teki. Harumnya nggak ilang-ilang sampai beberapa hari. Apalagi bila rutin pakai masker, selain kulit halus dan bersih juga terlindung dari sengatan matahari. Dan yang paling khas adalah harumnya. Pernah mencium gadis desa?’’

‘’Hus, semprol kowe….’’

‘’Apa itu semprul?’’ Palauk balik bertanya.

‘’Semprul itu tembakau paling jelek yang biasanya untuk nginang nenek-nenek,’’ kata saya.

‘’Sialan…’’

‘’Memang kamu sudah pernah mencium gadis?’’ tanya saya lagi.

‘’Yang itu rahasia pribadi. Sudah atau belum, nggak penting untuk dikatakan.’’

‘’Saya baru tahu kalau selama ini mereka mengenakan masker. Saya kira obat jerawat atau apalah gitu. Sampai-sampai orang yang sering saya jumpai, Hamidah, wajah aslinya seperti apa saya tidak tahu, kecuali Dinda, cantik juga tu orang. Soalnya pondokan saya bertetangga langsung dengan rumah Dinda. Jadi saya tahu setiap harinya.’’

‘’Kalau mau lihat wajah asli mereka, datang saja ketika ada acara ningkukan. Acara ningkuk itu adalah acara muda-mudi yang biasa digelar untuk memeriahkan acara pernikahan. Biasanya digelar pada malam hari sebelum acara resepsi pernikahan.’’

‘’Boleh juga ikut acara ningkuk. Kapan digelar.’’

‘’Nunggu saya kawin ya.’’

‘’Semprul kowe. Ternyata bisa juga kamu melucu.’’

‘’Sempral-semprul, sempral-semprul. Kamu tula.yang tembakau semprul.’’

‘’Nggak usah marah, ngomong-ngomong Dinda kemana ya. Kok sudah beberapa hari ini nggak kelihatan di desa.

‘’Mene ketehe,’’ ujar Palauk menirukan gaya bicara artis sinetron di televisi, mengangkat kedua bahunya sambil bibirnya memble.

‘’Eh, saya serius.’’

‘’Nanya-nanya Dinda, memangnya saya bapaknya apa. Kan kamu yang paling dekat bertetangga langsung dengan Dinda. Kok malah kamu yang gak tahu.’’

‘’Dalam peribahasa, gajah dipelupuk mata tidak tampak, kuman diseberang lautan tampak.’’

‘’Ini artinya kamu nggak ada rasa peduli terhadap tetangga. Muliakan tetanggamu.’’

‘’Saya hanya ingin memperkecil prasangka buruk tetangga yang lain. Tahu kan, dalam rumah itu hanya ada seorang janda ibunya Dinda dan Dinda sendiri. Apa kata orang kalau saya mampir ke rumah Dinda. Jadi saya menghindari itu.’’

‘’Yang saya tahu dari cerita Kori, pemuda yang tinggal di parit empat, Dinda ke Palembang. Katanya mau kuliah lagi. Mungkin satu universitas dengan Kori.’’

‘’Ah, yang bener Luk.’’ Saya penasaran.

‘’Kemarin sudah ngomong sama Wak Rindu, mau kuliah lagi ke Palembang.’’

‘’Yang membiayai?’’ Tanya saya.

‘’Kok nanya saya lagi. Meneketehe la Pras….’’

‘’Trus, ibunya dengan siapa?’’

‘’Wah kamu makin lama bikin pening palak be. Memangnya saya ini siapa. Apanya dengan Dinda. Ya jelasnya tanya dewekla kau tu,’’ Palauk kesal dengan logat Palembangnya yang kental. Saya masih seperti tak percaya omongan Palauk. Benarkah Dinda pergi sendirian ke kota. Tanpa siapa-siapa. Sebatang kara. Nggak mungkin! Pikir saya.

‘’Kenapa Wak Rindu nggak ngasih tahu saya?’’

‘’Memangnya kamu itu siapa?’’

‘’Wak Rindu merestui saya mencintai Dinda.’’

‘’Siapa saja kan boleh.’’

‘’Ya, tapi saya serius.’’

‘’Memangnya kamu sudah siap duit berapa?’’

‘’Justru itu Wak Rindu mau jelaskan ke masyarakat. Saya tetap siapkan biaya untuk kenduri. Sesederhana mungkin. Saya akan mengawali tradisi yang baru. Kamu tahu sendiri, orang-orang kampung selalu memaksakan diri. Nggak ada biaya dipaksa-paksa harus ada. Akhirnya habis nikah, pusing ngembalikan hutang-hutangnya. Kalau sampai nggak terbayar, istrinya jadi korban.’’

‘’Nggak mudah Pras. Dimana-mana nikah tu tetap pakai biaya. Kalau nggak pakai biaya, berapa banyak janda yang ada di kampung ini. Sebab habis nikah beberapa hari lagi nikah lagi, cerai lagi, nikah lagi begitu seterusnya. Easy come easy go, mudah datang mudah pergi. Sesuatu yang mudah didapat, mudah pula lenyap.’’

‘’Bukan itu maksud saya.’’

‘’Sekarang apalagi alasanmu. Cinta di zaman sekarang tergantung seberapa kadar karatnya. Baru bisa bercinta. Kalau cuma mengandalkan cinta asmara, semua orang punya cinta. Tapi apakah cukup kita makan cinta. Lha, BBM sekarang naik. Harga sembako naik. Harga nikah apalagi, ikut naik juga..’’

‘’Susah menjelaskan pada orang yang beda visi.’’

‘’Sok hebat kamu. Pakai visi segala?’’

‘’Begini, saya mencintai Dinda setulus hati.’’

‘’Tetap nggak cukup. Tetap harus ada duit. Cinta dan nafsu sulit dibedakan.’’

‘’Pintar juga kamu. Lulusan apa sih.’’

‘’Gelar nggak penting. Yang penting manifestasinya.’’

‘’Buset !! Begini, menikah memang harus pakai duit, tapi bukan segala-galanya, sehingga diterjemahkan menjadi lain.’’

‘’Coba jelaskan.’’

‘’Disini kan nggak ada istilah sewa pelaminan, nggak ada sewa tenda, nggak ada sewa meja kursi, nggak ada sewa event organizer (EO), nggak ada sewa gedung. Semua dilakukan dengan jalan gotong royong, para pemuda yang melakukan itu semua. Misalnya bikin pelaminan dari kain batik dihias sedemikian rupa. Meja kursi gotong royong pinjam masyarakat, tenda juga pinjam sana-sini. Nah itu yang saya maksud. Tinggal kita memikirkan konsumsi tamu undangan. Konsumsi kan nggak terlalu mahal. Beras sudah ada sendiri hasil panen. Tinggal beli bumbu telur dan ayam. Beres! Nggak sampai tiga juta. Itupun sudah terlalu mahal kan?’’

‘’Dalam kehidupan social masyarakat, ada harga diri dan gengsi. Itu berlaku bagi masyarakat. Tidak ada orang yang mau direndahkan. Mereka maunya disanjung, diangkat dan dikagumi. Mereka itu sebenarnya mau pamer kalau mereka dari keluarga kaya raya. Intinya sebenarnya disitu. Apalagi mereka mau menikahi anak orang, biasanya pihak laki-laki pamer kekayaan. Pihak perempuan mengundang masyarakat kenduri ke rumahnya lalu obral kebanggaannya kalau anaknya dilamar si A sekian juta. Ya, wajar, itu harga diri social masyarakat.‘’

‘’Kesannya kok membeli seorang gadis.’’

‘’Itu juga harus dibedakan. Membeli gadis konotasinya membeli pelacur. Kita harus memahami psikologi masyarakat, dimanapun tentu seperti itu. Golongan atas, bawah, menengah, dan lain-lain merupakan strata derajat hidup bermasyarakat. Tak terkecuali di kampung Rantau ini.’’

‘’Sebenarnya kaya dan miskin itu kan cuma kesempatan.’’

‘’Benar. Saya tahu itu. Saya ini sarjana ekonomi Universitas Muhammadiyah Palembang. Orang yang kaya adalah orang yang lebih dulu mendapat kesempatan untuk kaya, sedangkan miskin belum sempat saja untuk kaya. Semua tergandtung pemberdayaan potensi diri dan lingkungan yang dipijak. ‘’

‘’Saya menilai dengan cara pandang masyarakat selama ini tentang ongkos pernikahan, justru akan menyulitkan masyarakat itu sendiri, lebih-lebih generasi penerus.’’

‘’, Pras, sesuatu yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat, sifatnya mengalir. Masyarakat adalah guru dan motivator. Kalau kita mau menikah nggak ada ongkos, otomatis kita kerja keras agar mendapatkan ongkos. Pada akhirnya usaha yang kita bangun menjadi usaha masa depan. Di kampung ini memang harus didik seperti itu. Mereka yang sukes banyak yang bukan dari sarjana. Saya yang sarjana tetap ingin belajar dari mereka. Saya membangun jaringan bisnis lewat ketek menyusuri sungai. Dan setiap jalur pemukiman, saya tempatkan ketek saya di sana. Ternyata hasilnya lumayan.’’

‘’Saya masih belum plong mengenai tradisi pernikahan tadi Luk,’’ saya penasaran.

‘’Sesuatu yang telah terjadi, tidak perlu dipikirkan. Buang-buang energi. Belum tentu yang kita pikirkan akan mengubah keadaan. Disini pernikahan bisa mulus, bisa juga sampai pertumpahan darah. Itu tak lain seperti yang saya bilang tadi, harga diri.’’

‘’Termasuk misalnya saya mencintai seseorang dan orang itu siap saya nikahi, apa orang lain bisa merebut begitu saja,’’ kata saya.

‘’Kenapa tidak. Uang berkuasa, sedangkan cinta hanyalah budaknya.’’

‘’Wah ini cara pandang yang sangat keliru.’’

‘’Keliru? Itu menurutmu!’’

‘’Ya, menurut saya keliru. Uang itu adalah benda yang suatu saat akan habis.’’

‘’Cinta juga akan habis seiring usia manusia.’’

‘’Tetapi cinta akan mengubah dunia menjadi lebih damai.’’

‘’Sudahlah nggak usah banyak ceramah tentang cinta. Nggak berlaku di sini.’’

‘’Setidaknya saya akan memulai. Akan saya tunjukkan ke masyarakat. Dengan kesederhanaan, kehidupan kita akan tentram,’’ saya masih ngotot.

‘’Setiap orang tidak sama, Pras. Buah pikir dan pengalaman selalu berpijak pada lingkungan dimana orang itu tinggal..’’

‘’Ya, pengalaman dan buah pikir juga bisa diterapkan disini. Kita semua harus menyadari bahwa kita bukan golongan atas. Bukan orang kantoran, bukan bos perusahaan. Kita semua adalah dari keluarga petani, mengandalkan hasil tani dan laut. Nggak perlu berlebih-lebihan. Jaman nabi juga nggak ada persyaratan nikah seperti itu. Yang penting syah didepan penghulu didasari cinta suci. Titik.’’

‘’Ya, mungkin saja. Di kampungmu bisa diterima. Soalnya memang banyak yang nerimo. Banyak wong Jawo,’’ ujar Palauk menyebut wong Jawo artinya orang Jawa.

‘’Ya, kita harus membiasakan hidup sederhana.’’

‘’Kalau menurut penilaian saya, sebenarnya itu alasan untuk pembenaranmu supaya bisa mengawini Dinda. Itu saja …’’

‘’Bukan alasan, Luk. Sekarang kamu lihat sendiri bagaimana orang-orang kampung setelah menikah? Apakah mereka masih punya cinta yang tulus. Cinta dan nafsu harus bisa dibedakan, bukan sulit membedakan.’’

‘’Tergantung orangnya, Pras. Tidak bisa dipukul rata. Di kampung ini hanya sebagian kecil yang kejam dengan istrinya.’’

‘’Ingat, kejam bukan berarti memukul atau menyakiti secara fisik, membiarkan istri membanting tulang ditempat yang tidak layak, apakah wajar? Itu bagian dari kekerasan rumah tangga.’’

‘’Di kampung ini sudah jadi tradisi, suami istri bekerja keras mencari nafkah. Kalau tidak melaut ya ke ladang, karena memang itu mata pencaharian mereka di sini. Tak beda jauh di kota, banyak wanita karir yang kerjanya lebih keras dari seorang suami. Ada yang ngelembur sampai nggak pulang. Apakah itu bisa diartikan sebagai kekerasan rumah tangga? Wanita pekerja itu merupakan hak wanita itu sendiri. Dia memang tipe pekerja. Kita nggak usah terlalu mikir yang aneh-aneh. Pikiran kita terlalu dikotomi oleh hal-hal yang berlebihan. Jangan terlalu menyanjung keberadaan wanita. Tidak baik bagi dirimu. Nantinya kamu termasuk golongan STI, suami takut istri. Ingat itu. Hahaha….’’

‘’Tidak menyanjung, tapi memposisikan dari sisi kepatutan.’’

‘’Sudahlah, itu hanyalah pikiran orang yang baru jatuh cinta. Kamu belum merasakan bagaimana hidup berumah tangga yang didesak kebutuhan pokok. Bila kita sudah merasakan ruwetnya mengarungi hidup berumah tangga, mungkin tidak ada lagi istilah cinta. Yang ada adalah kewajiban. Cinta itu menyertai suasana hati.’’

’’Encer juga otakmu, Luk’’

‘’Anak nelayan kebanyakan memang pintar. Kita sering makan ikan. Lihat saja BJ Habibie, genius kan?’’

‘’Ah, nggak ada hubungannya dengan Habibie.

‘’Orang yang sedang jatuh cinta, mestinya selalu bawa pena dan kertas. Saya yakin akan menghasilkan cerpen dan pusisi yang menarik,’’ ujar Palauk meledek saya.

Saya tersenyum. Dalam hati, saya benar-benar kewalahan berdebat dengan si kepala botak Palauk. Buah pikirnya sangat encer. Dia meski orang pesisir, tetapi tidak temperamental. Dia lebih mengedepankan intelegensinya daripada emosi. Saya jadi senang berdebat dengan dia.

‘’Kembali ke soal biaya nikah tadi. Apa mesti berlomba-lomba siapa yang banyak mereka yang dapat?’’

’’Sudah saya katakana tadi. Orang tua kita juga sering bilang seperti itu. Hidup ini tidak cukup dengan makan cinta. Zaman sekarang harta lebih berkuasa. Kakek-kakek bisa nikah dengan gadis belasan tahun karena banyak hartanya. Ini bukan hanya zaman sinetron seperti sekarang ini. Tapi sudah sejak dulu kala.’’

‘’Itu namanya matrek. Trus apa hakekat bercinta itu sendiri?’’

‘’Tergantung siapa yang mau menerjemahkan. Kalau kamu yang menerjemahkan bisa berarti menyayangi sepenuh hati. Itu baik. Tapi itu sebenanya naluriah manusia. Ingat, dalam pernikahan selalu berjuang melawan badai. Dan badai itu tak lain bagaimana kita mampu menyatukan dua karakter yang berbeda. Cinta itu egois, biasanya akan hancur dengan sifat pembawaan masing-masing. Kalau kita nggak mampu menyatukan dua karakter yang berbeda, tidak ada artinya cinta.’’

‘’Hmmm,,,setuju pintar banget kamu Luk.’’

‘’Saya selain sarjana ekonomi, saya juga pernah mendirikan teater Tradisional di Palembang. Saya pernah jadi pemain teater. Pernah jadi seniman. Tapi saya pikir secara untung rugi, saya nggak cocok terus-terusan berteater, soalnya nggak bisa diandalkan dari segi kekayaan. Saya bukan orang yang idealis. Idealis nggak bisa untuk ngongkosi istri dan anak-anak. Nggak bisa untuk membangun rumah.’’

‘’Saya rasa memang tergantung manusianya. Ada yang miskin harta, tapi kaya hati.’’

‘’Itu hanya ada dalam lagu dangdut. Selalu meratapi keadaan.’’

‘’Tapi ada juga yang kaya raya, tetapi malah menderita. Masalah datang silih berganti karena nggak bisa menggunakan kekayaannya dengan baik.’’

‘’Oke, sekarang kalau kamu harus memilih, mana yang kamu pilih, menjadi orang kaya atau orang miskin.’’

‘’Ya pasti pilih jadi orang kaya.’’

‘’Itu jawaban jujur. Semua orang pasti akan menjawab itu. Artinya sebenarnya kamu sudah bisa menerjemahkan obrolan kita selama ini.’’

‘’Ya, saya setuju itu, Cuma saya masih mikir tentang ungkapan cinta nggak memandang usia, tetapi harta.’’

‘’Ya, buktinya kakek-kakek banyak yang dapat gadis. Kalau mereka memandang usia, tentu memilih bujang. Tapi kadang-kadang bujangan ini sama dengan mahasiswa, gede nafsunya kecil duitnya. Di kampung peraiaran biasanya yang lebih berkuasa adalah bos balok. Atau pembalak liar. Duitnya banyak. Segala sesuatu serba ada. Mereka paling gampang cari gadis. Coba, gadis mana yang menolak seorang bos balok?’’

‘’Wah, berarti analisa saya selama ini salah ya.’’

‘’Memangnya kamu menganalisa apa?’’

‘’Tentang pernikahan orang kampung Rantau. Membayar mahal sebuah pernikahan tak beda dengan membayar nafsu.’’

‘’Analisamu salah. Saya katakana diawal tadi, bukan membayar gadis atau nafsu. Tapi gengsi.’’

‘’Ini membuat saya serius berpikir.’’

‘’Sekarang berhentilah berpikir. Besok masih ada yang perlu dipikirkan.’’

Palauk menepuk pundak saya.

‘’Ngobrol seperti ini enaknya sambil ngopi atau ngebier di pinggir sungai. Kita teruskan besok.’’ Kata Palauk sambil berlalu. Soalnya Palauk sudah harus menyusuri sungai mengirim barang-barang dagangannya.

***

Suatu hari saya terkena bisa air dan membuat kedua kaki saya bengkak, panas dan gatal. Saya bingung, rasa sakit kemudian menjalar sampai ke pangkal paha. Sementara untuk berobat ke puskesmas terlalu jauh dan harus menyusuri sungai dengan sampan. Lalu saya dianjurkan Wak Bedor agar kaki saya dilumuri bedak umbi yang biasa dipakai gadis Rantau sebagai masker.

Malam harinya saya minta tolong Hamdi dan Midi menggedor rumah Wak Rindu meminta bedak yang biasa dipakai Hamidah. Hamdi agak ragu malam-malam bertandang ke rumah tetangga. Apalagi di rumah wak Rindu ada dua gadis remaja yang lumayan cantik untuk ukuran gadis kampung. Hamdi berpikir jangan-jangan orang kampung berpikir negatif. Tapi demi kawan dan niat yang bersih, akhirnya Hamdi memberanikan diri.

Begitu pintu diketuk, suara gadis remaja dari dalam rumah bertanya,’’ Siapa ya,’’ Tanya gadis itu.

‘’Saya, Hamdi dan Midi.’’

Pintu kemudian dibuka. Hamdi terbelalak begitu melihat Hamidah sudah berada di depan pintu. Kaget campur heran.

‘’Ada apa malam-malam kemari?’’ Tanya Hamidah.

Hamdi baru tahu wajah Hamidah yang sesungguhnya. Selama ini Hamidah selalu mengenakan masker. Begitu juga gadis-gadis remaja lainnya. Cantik juga keponakan Wak Rindu itu, pikir Hamdi. Midi buru-buru mencubit lengan Hamdi lantaran cara Hamdi memandang Hamidah sudah keterlaluan. Sedangkan Hamidah senyum-senyum tanpa beban.

‘’Saya disuruh mas Pras.’’

‘’Disuruh apa.’’

‘’Minta bedakmu.’’

Hamidah bengong.

‘’Apa saya nggak salah dengar.’’

Wak Rindu yang sedang nontong TV di ruang tengah sempat melirik ke arah Hamidah. Tapi kemudian pura-pura tidak tahu.

‘’Mas Pras ini kanji. Masak malam-malam begini mau minta bedak,’’ kata Hamidah dengan nada dampratan khas Palembang, kanji yang berarti genit.

‘’Nggak ada maksud apa-apa kok.’’ Sahut Midi.

‘’Iya, minta bedak untuk apa. Laki-laki mau bedakan?’’ kata Hamidah.

‘’Pras kakinya bengkak. Katanya terasa panas dan gatal,’’ lanjut Hamdi.

‘’Apa bedak ini bisa dijadikan obat?’’ Hamidah balik bertanya.

‘’Entahlah. Biasanya kalau siatuasi sedang darurat, apapun bisa dijadikan obat.’’

‘’Aneh kamu Hamdi.’’

‘’Bukan saya, tapi Pras.’’

‘’Ya, Pras ini sinting. Itu mungkin terkena bisa air. Biasanya kalau terkena bisa air, obatnya ya direbus. Rebus kaki yang terkena bisa, dua jam kemudian kempes.’’

‘’Gila ! Masak kaki orang hidup mau direbus.’’

‘’Caranya bukan direbus seperti merebus jagung.’’

‘’Trus gimana.’’

‘’Rebus air hingga mendidih, setelah itu cari kayu sebesar bata dimasukan dalam panci, gunanya kayu tadi sebagai pijakan kaki biar gak kena air panas. Setelah kaki yang terkena bisa itu masuk dalam panci, tutup panci itu pakai kain, biarkan beberapa menit hingga uap panas merebus kakinya yang bengkak. Kalau sudah terasa panas, angkat. Lalu rebus lagi dan seterusnya hingga keluar cairan lewat pori-pori kaki yang bengkak.’’ Jelas Hamidah.

‘’Hebat kamu Midah, ilmu dari mana kamu dapatkan itu.’’

‘’Nenek moyang.’’

‘’Hehehehe…..’’

‘’Kenapa tertawa…’’

‘’Dengar nenek moyang, kesannya mistis banget. Sangat tradisional, gitu.’’

‘’Trus, bedak ini masih tetap diminta apa tidak.’’ Hamidah menyodorkan bedak bikinan sendiri dalam kantong plastik yang biasa dipakai membuat es lilin.

‘’Biarlah saya bawa, soalnya Pras memang suruh saya minta ini,’’ kata Hamdi.

‘’Eh, temanmu satunya lagi itu siapa ya.’’

‘’Siapa, Badrun maksudmu?’’

‘’Ya, Badrun. Kok lucu ya.’’

‘’Lucu kenapa’’

‘’Kalau ngomong kayak pelawak Basuki.’’

‘’Kamu belum tahu, dia memang keponakan Basuki,’’ Hamdi bergurau.

‘’Sudahlah sana, kan kamu ditunggu mas Pras. Jangan lupa salam buat dia. Kerja jangan terlalu ngoyo.’’

‘’Namanya juga cari nafkah. Ya sedikit ngoyo biar dapat hasil. Trima kasih ya, bedaknya.’’

‘’Ya.’’

Hamdi dan Midi permisi pulang. Hamidah kembali mengunci pintu rumahnya. Belum sampai masuk kamar, Wak Rindu memanggil.

‘’Ada apa malam-malam Handi dan Midi ke rumah.’’ Tanya Wak Rindu.

‘’Minta bedak.’’

‘’Apa, minta bedak?’’

‘’Ya.’’

‘’Buat apa’’

‘’Buat obat.’’

Wak Rindu diam sejenak. Mulai menerka-nerka tentang sesuatu yang aneh dalam diri Pras. Pasti ada maunya. Paling tidak Pras mulai menebar pesona.

‘’Hanya itu?’’ tanya Wak Rindu.

‘’Ya.’’

Wak Rindu diam lagi. Masih menerka-nerka.

‘’Ya sudah,’’ kata Wak Rindu lagi.

Hamidah masuk kamar. Sama seperti yang ada dalam pikiran Uwaknya itu. Tapi Hamidah cepat sadar kalau Pras memang sedang butuh bantuan. Bukan karena hal-hal lain untuk mencari perhatian.

***

Di rumah pondokan, rumah kosong yang memang untuk bermukim para perantau, saya, Hamdi, Midi dan Badrun tertawa cekikikan mendengar kaki saya mau direbus. Semula saya terkejut. Tapi setelah saya praktekan, ternyata benar. Rasa panas dan gatal setelah diuapi air panas jadi terasa lebih enak. Soalnya gatalnya terkena bisa air tidak bisa digaruk. Kalau digaruk bukan terasa enak, tetapi malah sakit.

Tak lama kemudian, kaki saya yang bengkak mengeluarkan cairan, mungkin cairan itulah yang biasa disebut bisa air. Kemudian setelah agak kempes, saya luluri bedak umbi rumput teki buatan Hamidah. Terasa lebih enak, adem, dan harum. Tidak lagi amis seperti sebelumnya.

‘’Pintar juga kamu Pras, kakimu jadi harum, seharum Hamidah tentunya.’’

‘’Nggak usah ngeledek. Saya ini benar-benar lagi kesakitan.’’

‘’Maksud saya, kalau kamu nyium kakimu sekarang, sama juga mencium pipi Hamidah. Soalnya bedak ini sering dipakainya untuk masker dia kan?’’

‘’Niat saya untuk obat,’’ kata saya.

‘’Ya,ya,ya….’’

‘’O ya, lupa, tadi ada salam.’’ Potong Midi.

‘’Dari siapa?’’

‘’Ya, Hamidah…’’

‘’Salam kembali.’’ kata saya.

‘’Hei Pras, ternyata Hamidah boleh juga. Wajah aslinya hmm, sensual. Nggak jauh beda dengan Dinda,’’ cetus Hamdi

‘’Ah, kamu suka ngarang.’’

‘’Serius. Sumpah.’’

‘’Cantik itu kan relatif. Cantik menurutmu belum tentu cantik menurut Midi, begitu juga saya.’’

Midi yang juga menyaksikan sendiri langsung spontan menimpali. ‘’Iya, Pras. Ternyata cakep juga orang itu. Badanya putih mulus. Benar-benar Melayu banget.’’

‘’Nggak usah manas-manasi saya. Kalau kalian suka, ya pacari aja dia. Kan aman jadi ponakannya Wak Rindu. Ikut terbawa populer. Mendadak bisa jadi orang yang berpengaruh di kampung ini. Kan jadi keluarga besar jagoan kampung.’’

‘’Kalau tahu sejak dulu…’’ Hamdi tidak melanjutkan.

‘’Kalau tahu sejak dulu kenapa?’’ Tanya saya.

Hamdi hanya senyum-senyum.

Saya jadi penasaran. Mungkin benar apa yang dikatakan Hamdi dan Midi. Hamidah juga termasuk kembang desa di perkampungan Rantau.

***

Esoknya kaki saya benar-benar sembuh seperti semula. Tidak bengkak lagi, juga tidak terasa gatal-gatal. Ini baru obat penemuan baru yang belum pernah dipublikasi di surat kabar. Obat tradisional yang tidak memerlukan ongkos mahal. Hmm, saya harus berterima kasih pada keluarga Hamidah.

Saya dan teman-teman mulai beraktivitas lagi mengarungi muara Sungsang menuju selat Bangka. Baru sampai ke delta sungai, terlihat banyak orang ramai ke laut. Ini tidak seperti biasanya. Sebab yang datang seperti petugas Search And Rescue (SAR) dan para polisi air. Beberapa wartawan juga banyak yang numpang speed boat milik petugas. Tapi mereka tidak melanjutkan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Ada apalagi? Apakah masih dalam pencarian korban tenggelamnya kapal Tri Star ?

‘’Ini pasti ada apa-apa, Pras,’’ kata Hamdi.

‘’Ya, pasti ada kejadian luar biasa.’’

‘’Yang penting jangan sampai ada tsunami saja,’’ sela Midi.

‘’Sssst…bicaramu jangan ngawur. Kita sekarang berada di laut. Nanti didengar hantu laut bisa mampus kita,’’ sahut Hamdi.

Wak Ujang yang mengendalikan haluan kapal kami terlihat biasa-biasa. Malah kesannya santai seperti tak pernah terjadi apa-apa.

‘’Wak Ujang,’’ saya menepuk pundak Wak Ujang. ‘’Mereka itu sedang ngurusi apa?’’ saya menunjuk ke arah para petugas yang berkumpul di geladak kapal toug boatnya.

‘’Kejadian di laut tak beda jauh dengan kejadian di darat. Kalau di darat pasti kecelakaan lalulintas. Tabrakan. Tapi kalau dilaut ya tenggelam. Ditelan ombak,’’ ujar Wak Ujang dengan nada datar.

‘’Tapi kok kelihatannya heboh amat. Sampai-sampai puluhan wartawan ikut dalam kapal tersebut.’’

‘’Kejadian dilaut bisa jadi kejadian luar biasa, karena biasanya korbannya cukup banyak. Tahu sendiri, kapal bisa mengangkut ratusan penumpang,’’ kata Wak Ujang sembari menambatkan tali kapal ke bagan milik Yoyong. Bagan yang pernah hancur ditelan ombak itu telah diperbaiki, meski tiang penyangganya masih terlihat ringkih, karena hanya menggunakan rangkaian bambu. Begitu juga dinding dan lantai juga terbuat dari bambu. Hanya beberapa keeping papan diletakkan di dalam bagan, fungsinya sebagai alas tidur.

Yoyong cukup familiar pada kami, karena setiap melaut, kami mampir ke bagan miliknya. Begitu juga pada waktu-waktu tertentu, ketika kami mencari ikan dengan cara memancing, kami selalu numpang dibagan milik lelaki yang wajahnya terlihat serem itu, tapi hatinya baik. Bagi Yoyong dengan membangun bagan di laut dangkal, selain bermanfaat untuk mencari ikan sendiri, juga dapat masukan dari luar, terutama orang-orang yang ingin menumpang mancing ke bagannya, mereka pasti membawa beras, mie instant, rokok dan uang. Hitung-hitung sebulan Yoyong bisa dapat masukan Rp 1 juta plus beras, mie instans dan rokok.

‘’Oi Yong….’’ Pekik Wak Ujang dengan logat Palembang. ‘’Maseh idup apo kamu….’’ katanya lagi. Memang terdengar cukup kasar, artinya masih hidup apa kamu . Tapi bahasa itu merupakan bahasa pergaulan biasa.

‘’Oi Wak, alhamdulillah, maseh idup…’’ jawab Yoyong.

‘’Banyak lokak caknyo, bebagi oi…’’

‘’Lokak apo Wak, la sepi. Soalnya ada larangan melaut. Tapi kok malah kalian kembali ke laut?’’

‘’Kami tidak tahu ada larangan melaut Wak Yong. Minggu lalu kami hanya mencari ikan di muara Sungsang, belum sampai ke selat Bangka. Nggak tahu ada pengumuman itu,’’ kata saya.

‘’Saya pikir kalian sudah tahu. Tapi kalau cuma dilaut dangkal nggak apa sih. Atau mau mancing? Soalnya sejak diberlakukan larangan melaut, para pemancing tambah banyak,’’ sahut Yoyong.

‘’Ngomong-ngomong, kapal diujung itu lagi ngapain Yong?’’ sela Hamdi.

‘’Kejadian beberapa waktu lalu. Kapal Tri Star Tenggelam.’’

‘’Jadi, para petugas itu sedang mengevakuasi korban?’’

‘’Ya, mereka sedang mengevakuasi korban. Sudah tiga bulan yang lalu,’’ ujar Yoyong sambil meletakan stik pancing dan menyambut tangan saya menuju bagan.

Menjelang fajar tadi, kata Yoyong lagi, kapal Tri Star ditemukan oleh tim SAR pada kordinat L02.11 .905 S. B104 57398 T, dengan posisi terbalik dan sedikit bagian bawah kapal terlihat dipermukaan. Informasinya memang begitu. Kapal juga membawa 11 mobil truk serta dua kendaraan roda dua. Data jumlah penumpang masih simpang siur, sebab didalam kapal tersebut juga banyak penumpang tak

berkarcis, seperti penjual rokok, penjual mie, dan sejumlah penumpang gelap lainnya. Begitu juga para balita yang tidak tercatat dalam daftar tiket.

Bagi tim SAR, simpang siur data korban adalah urusan pemilik kapal dan Jasa raharja. Tim SAR hanya mencatat apa adanya dilapangan. Berapapun yang ditemukan di lapangan, itulah jumlahnya.

Para tim SAR ini terlihat begitu sibuk dan berkumpul dilokasi yang cukup jauh dari tempat tenggelamnya kapal. Bantuan untuk evakuasi korban juga datang dari Pusat Metalurgi Timah Mentok dengan menggunakan kapal tug boat serta membawa tim penyelam.

Ketika berada dilaut, dilokasi penemuan kapal yaitu ambang luar Buinera Sunsang, ombak sangat besar mencapai ketinggian empat meter datang lagi. Kapal kecil apalagi perahu karet dan speed boat sulit mencapai lokasi. Para wartawan yang dikawal sejumlah petugas kepolisian, hanya terkatung-katung di laut dangkal, sebab mereka dilarang untuk melanjutkan perjalanan menggunakan speed boat ke laut lepas. Terlalu berisiko. Begitu kata petugas.

Sementara Polisi Perairan Polda Bangka Belitung, juga telah mengirimkan lima orang personil untuk menemukan kapal sekaligus mengevakuasi korban. Lokasi TKP berada diwilayah Sumsel dan kapal juga berangkat dari Pelambang, hingga penanganannya dilakukan Polair Polda Sumsel, sementara aparat dari Polair Mentok Bangka hanya membantu.

‘’Ini tidak sederhana mengevakuasi korban di dasar laut pada musim badai. Apalagi mengangkat kapal ke permukaan,’’ Yoyong mengangkat bahunya, tanda tidak mungkin melakukan evakuasi bangkai kapal hanya dengan cara tradisional.

‘’Tiga bulan lalu? Ketika kita pertama melaut? Yang benar saja. Lama juga pencariannya. Bisa-bisa para korban penumpang kapal itu hanya tinggal tulang belulang,’’ kata saya.

‘’Itulah cara penanganan dalam negeri kita. Kita mana ada kapal canggih seperti di luar negeri sana. Semua dilakukan secara tradisional. Penyelamnya juga sewaan penyelam tradisional. Mungkin terlalu mahal untuk ngurusi bangkai kapal yang tenggelam di dasar laut dengan mendatangkan kapal besar dari luar.’’

‘’Setidaknya korbannya yang harus diutamakan untuk diurusi, bukan bangkai kapalnya. Meski tinggal tulang belulang, tapi itu adalah manusia. Wajib dihormati,’’ kata saya.

‘’Dua-duanya harus diurusi. Soalnya bangkai kapalnya juga merupakan barang bukti. Lihat saja dikoran, semua mengklaim menyebut korban ada sekian, tetapi para petugasnya sendiri saling gontok-gontokan, seolah-olah pahlawan baru dalam musibah itu,’’ kata Yoyong.

‘’Jadi, mengambil keuntungan dari musibah? Yang benar saja Yong.’’

‘’Kita bukan menganggap rendah terhadap petugas. Tapi coba kamu simak berita di televisi atau baca di koran. Mana yang benar. Menyebut korbannya saja simpang siur. Ada yang bilang jumlah korban bisa berakibat pada besarnya jumlah premi asuransi dan lain-lain.’’

‘’Itu hak korban untuk ahli warisnya. Korban sudah nggak butuh duit lagi. Mereka dibohongi atau tidak, itu tidak penting. Soalnya orang mati nggak mungkin mau menuntut atau melaporkan ke polisi.’’

‘’Ya, ya. cuma kok begitu caranya.’’

‘’Tapi sudahlah, nggak perlu dibahas. Ngomong-ngomong larangan melaut apa masih berlaku sampai sekarang?’’

‘’Buktinya, para wartawan yang hendak meliput ke TKP tertahan semua. Mereka itu semalam menginap di bagan saya. Hanya foto-foto sendiri seperti berwisata dilaut. Kabarnya larangan masih berlaku sampai tiga bulan ke depan.’’

‘’Oo…’’ saya manggut-manggut.

‘’Eh, Pras. Bagaimana kabar Hikam?’’ Yoyong mengalihkan pembicaraan.

‘’Masak kamu tidak tahu,’’ sahut saya.

‘’Saya tahu kejadian itu. Maksudnya ada perkembangan apa?’’

Membicarakan Hikam, tiba-tiba saya jadi teringat nasib Dinda Sarumpit yang katanya sekarang berada di kota Palembang. Kabarnya kuliah lagi. Tapi saya sempat ragu, benarkah Dinda kuliah lagi? Keraguan saya tentang Dinda sangat beralasan, soalnya tak ada lagi yang bisa menopang ekonomi di keluarganya, kecuali Hikam yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Jadi siapa?

‘’Kenapa Pras?’’ kata Yoyong lagi. Saya sempat kaget.

‘’Nggak ada apa-apa. Cuma teringat Dinda. Kabarnya ke Palembang.’’

‘’Ke Palembang ikut siapa?’’

‘’Mana saya tahu. Kabarnya mau kuliah lagi.’’

‘’Ah, yang benar…’’

‘’Kabar di kampung memang seperti itu. Dinda hanya ngomong sama Wak Rindu.’’

‘’Dia memang pintar, Pras. Mungkin saja dapat beasiswa.’’

‘’Mudah-mudahan seperti itu.’’

‘’Saya bisa merasakan, pasti kamu naksir dia.’’

‘’Ah, tahu aja kamu Yong.’’

‘’Cuma nebak saja.’’

‘’Kalau ya gimana, kalau tidak gimana.’’

’’Ya nggak gimana-gimana. Lanjutkan. Saya dukung.…’’

‘’Kalau Pras naksir Dinda, lantas bagaimana nasib Hamidah, ponakan Wak Rindu,’’ sela Hamdi.

‘’Ah, ngawur kamu Ham. Jangan diteruskan gosipmu itu. Di kampung bisa berbahaya.’’

‘’Bagaimana bisa saya katakana gossip, Hamidah sendiri pernah nitip salam untukmu.’’

‘’Salam itu hal biasa. Jangan diartikan macam-macam.’’

‘’Biasanya sebuah salam bisa diartikan sebagai penyambung hati.’’

‘’Itu bila kamu yang menterjemahkan seperti itu.’’

‘’Sudah-sudah. Nggak ada habisnya ngomongi soal cewek. Sekarang apa yang harus kita perbuat di bagan ini. Mau mancing apa melaut di selat yang dangkal?’’ potong Midi.

‘’Kita mancing saja. Toh ikannya juga sedang banyak ngumpul di laut dangkal,’’ kata saya.

Kami berempat mulai menyiapkan umpan dan mencari tempat tongkrongan yang pas untuk mancing. Tapi selama di bagan, pikiran saya campur aduk. Saya seperti melihat banyak korban tenggelamnya kapal Tri Star berada di depan saya. Saya juga melihat Dinda tersenyum-senyum di kota Palembang. Pikiran saya mulai kacau. Apakah ini yang dikatakan bercinta bertepuk sebelah tangan?

***

Lama saya termenung di panggung tempat pondokan saya. Merantau itu memang tidak enak. Tapi kata orang yang sukses, lebih baik kita pernah merasakan hidup susah ketimbang tahu-tahu langsung sukses. Sebab kalau kita langsung sukses, suatu saat jatuh terasa sakit.

Saya berpikir, boleh-boleh saja kita hidup susah di perantauan, tetapi bukan dilaut. Maunya di kota. Sebab merantau jadi nelayan kesannya nggak intelek. Beda dengan merantau di kota, setidaknya ada omongan bahwa kita pernah tinggal di kota. Jadi, pengalaman yang dipijak sangat beda. Lebih terhormat dan lebih modern. Tidak seperti yang saya alami saat ini, merantau kok di kampung, kerja melaut mencari ikan pula.

Kembali lagi ke ide awal, ini karena gara-gara Hamdi yang mengajak saya ke kampung Rantau. Saya sama sekali tidak tahu kalau akhirnya bekerja serabutan seperti ini. Saya bukan sok kaya. Tetapi setidaknya meski orangtua saya seorang pensiunan tentara, tetapi cukup terhormat di desa saya. Keluarga kami tidak pernah kekurangan. Kami hidup rukun dan harmonis.

Kami ikut ke kampung Rantau hanya karena solidaritas berteman saja. Coba-coba menjadi anak rantau. Ternyata memang tidak gampang hidup mandiri. Dan saya pikir, hidup dikampung seperti ini, benar-benar buang waktu dan tenaga. Apa yang bisa diandalkan untuk masa depan? Nol besar. Saya harus ke kota seperti Dinda. Soalnya saya juga pernah tinggal di Palembang ketika kuliah di IAIN Raden Fatah Palembang. Meskipun kuliah saya tidak selesai. Artinya saya lebih berpengalaman dibanding Dinda. Tapi, emm, Dinda juga pernah lama di Palembang.

Tekad saya sudah bulat. Saya lalu bicarakan niat saya ke teman-teman. Ternyata Midi dan Badrun juga mengeluh. ‘’Masak orang terpelajar kok kerjanya seperti ini. Di kampung sendiri saja kita sebagai pengajar, sebagai guru, meski masih honor, tapi kan lebih intelek. Eh, disini kita mendadak jadi nelayan. Apa yang bisa kita perbuat? Ini jauh panggang dari api. Kita nyasar jauh,’’ kata Midi.

‘’Hahahaha….saya pikir kalian memang sudah tahu kalau pada akhirnya kita jadi begini,’’ sahut Badrun.

‘’Kita ambil hikmahnya saja. Apapun pekerjaan kita saat ini, yang penting harus didasari niat ibadah. Bisa berpahala dan mendapat berkah. Itu saja,’’ kata saya.

‘’Saya juga mau pulang. Tiga hari lagi sudah habis liburan anak sekolah. Jadi kita kembali menjadi guru,’’ terang Midi.

‘’Ya, kalian lanjutkan cita-cita mulia kalian sebagai pahlwan tanpa tanda jasa, saya akan melanjutkan kuliah lagi biar jadi pejabat. Jadi pejabat itu enak. Pejabat itu kaya raya. Nggak ada pejabat yang miskin naik angkot, ojek atau naik omprengan. Pejabat itu pasti punya mobil bagus. Pejabat juga nggak mungkin ngontrak rumah, karena rumahnya pasti bagus juga,’’ kelakar saya.

‘’Mudah-mudahan cita-cita muliamu bisa terlaksana. Kita yang jadi guru honorer bertahun-tahun lekas diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Lebih-lebih langsung diangkat sebagai kepala dinas pendidikan,’’ sahut Midi.

‘’Nggak usah banyak mengkhayal. Kapan mulai cabut dari tempat ini?’’ potong Badrun.

‘’Nunggu duit hasil ikan kemarin. Katanya besok pembayarannya,’’ kata saya.

Hamdi yang sejak tadi tak terlihat di pondokan, tiba-tiba datang bersama Hamidah. Mereka membawa bungkusan dalam kantong plastik asoy warna hitam. Hamidah terlihat cantik jelita tanpa masker. Gaya berjalannya juga agak genit. Pokoknya menggemaskan. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena otak saya ini sudah dipengaruhi gossip-gosip murahan, sehingga begitu melihat Hamidah rasanya lain dari biasanya. Ah, dasar otak kotor! Umpat saya dalam hati. Tapi faktanya memang begitu. Hamidah memang memesonakan setiap mata lelaki.

‘’Apa itu Ham,’’ kata Midi setelah Hamdi menaiki tangga pondok tempat kami menginap.

‘’Ayo tebak, apa ini?’’

‘’Nasi ya….’’ kata Badrun.

‘’Salah.’’

‘’Lauk.’’

‘’Juga salah.’’

‘’Lantas apa?’’ tanya saya.

‘’Yang benar pepesan tempoyak’’ kilah Hamdi.

‘’Ya sama saja dengan lauk,’’ sahut Midi.

Tempoyak ini merupakan pepes ikan yang dicampur buah durian. Sedangkan Saya selalu mual bila mencium bau durian. Bagaimana mungkin saya bisa menyantapnya? Sementara tempoyak ini merupakan makanan khas orang Sumatera, terutama Palembang dan sekitarnya. Hamidah sangat menyukai makanan itu.

Saya serba salah, tidak dimakan Hamidah tersinggung, dimakan perut saya mual. Jadi enaknya diapakan?

‘’Hamdi, makanlah, nanti sisakan untuk saya. Soalnya saya baru saja habis makan. Masih kenyang. Awas jangan dihabiskan tempoyaknya ya. Pasti enak bikinan Hamidah,’’ saya berkata bohong. Orang yang saya bohongi hanya senyum-senyum. Padahal sejak tadi perut saya benar-benar terasa lapar.

‘’Tempoyak ikan gabus. Wah enak pol, Pras,’’ Hamdi terlihat suka dengan pepesan itu..

‘’Masih banyak di rumah. Nanti kalau kurang, kalian bisa ke rumah ya?’’ Hamidah menawari.

‘’Trima kasih Hamidah. Nggak usah repot-repot. Hamdi memang rakus. Nggak usah didengar,’’ celetuk Midi.

‘’Nggak apa-apa asal kalian senang. Tapi kalian krasan kan tinggal di kampung ini?’’

‘’Memangnya ada apa Midah…’’

‘’Cuma nanya. Biasanya orang pendatang suka nggak krasan. Baru tiga hari saja terus pulang. Tapi kalian sudah hampir tiga bulan di kampung ini.’’

‘’Ya, soalnya di sini ceweknya cantik-cantik,’’ Hamdi nerocos sambil makan.

‘’Ah, kalian memang gombal semua,’’ balas Hamidah.

‘’Benar nggak sih katanya Dinda kuliah lagi?’’ kata saya pura-pura tidak tahu.

‘’Benar atau tidak, saya tidak tahu. Tapi dia memang ke Palembang. Ada apa. Ada yang disesali?’’ tanya Hamidah.

‘’Menyesal sih enggak Midah. Tapi kok tega-teganya nggak ngomong sama Pras,’’ celetuk Midi.

‘’Lho memangnya Pras ada apa dengan Dinda? Jatuh cinta ya….’’

‘’Begitulah ceritanya…’’ timbal Hamdi.

‘’Benar Pras?’’ tanya Hamidah.

‘’Tapi saya merasakan hanya bertepuk sebelah tangan,’’ jawab saya.

‘’Maksudmu?’’

‘’Saya merasa cinta, tapi dia tidak apa-apa.’’

‘’Kamu jangan salah. Di kampung ini memang begitu. Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Padahal Dinda mungkin juga merasakan seperti yang kamu rasakan. Hanya tidak diperlihatkan secara terang-terangan.’’

‘’Benarkah begitu?’’ kata saya penasaran.

‘’Mungkin.’’

Saya bernafas agak terasa lega setelah Hamidah menceritakan kebiasaan cewek kampung Rantau yang kura-kura dalam perahu.

‘’Kamu juga sering kura-kura dalam perahu ya?’’ sindir saya pada Hamidah.

‘’Tergantung perahunya. Kalau perahunya karam, kura-kuranya menyelam.’’

‘’Hahaha….’’ saya tertawa. Hamidah ternyata juga bisa melawak. ‘’Ngomong-ngomong Wak Rindu ke mana?’’ tanya saya lagi.

‘’Lagi ada kumpulan di balai desa. Orang-orang kampung sedang panik karena ikan tak laku dijual.’’

‘’Lho, kenapa?’’ saya kaget.

‘’Tahu sendiri kan. Pada musibah pesawat Silk Air beberapa tahun lalu, ikan dari sungai Sungsang tidak laku dijual. Katanya ikan-ikan hasil tangkapan nelayan makan potongan-potongan daging manusia. Para korban Silk Air tidak ada yang ditemukan secara utuh. Mereka hancur lebur bersama hancurnya pesawat itu,’’ jelas Hamidah.

‘’Termasuk ikan yang dimakan Hamdi?’’ saya menyindir.

Mendengar itu, Hamdi langsung berhenti mengunyah. Terlihat mau muntah.

‘’Yang benar aja Pras kalau ngomong…’’ teriak Hamdi.

‘’Eh, jangan salah. Itu ikan gabus. Ikan air tawar di rawa-rawa, bukan ikan laut.’’ Hamidah cepat meralat omongan saya.

Baru Hamdi kembali meneruskan melahap tempoyaknya. Tapi terlihat tidak selahap tadi.

‘’Sejauh itukah ikan nggak laku dijual?’’ tanya saya.

‘’Barangkali. Soalnya korban Kapal Tri Star terlalu lama dievakuasi. Mungkin ikan-ikan di dasar laut telah menjadikan para korban sebagai santapannya.’’

Perut saya terasa mual. Saya kembali sedih hidup seperti ini. Serba salah saja rasanya.

‘’Berarti ikan hasil tangkapan kami juga tidak laku dijual? Ini bisa jadi masalah besar di kampung Rantau. Setidaknya butuh waktu lama untuk memulihkan kondisi normal,’’ kata saya.

‘’Ya, untuk memulihkan butuh waktu lama. Saat hancurnya pesawat Silk Air saja sampai empat bulan baru bisa normal. Jadi, solusinya, ikan hasil tangkapan dijemur dijadikan ikan asin. Atau dijual di luar kota Palembang,’’ kata Midah.

‘’Wah, nasib! Kita nggak dapat duit,’’ timpal Midi.

‘’Trus, selanjutnya apa yang harus kita lakukan?’’cetus Hamdi.

‘’Ya, pulang dengan tangan kosong. Ini artinya belum rejeki kita,’’ jawab saya.

‘’Ya, sudah artinya kita bakal pulang tanpa hasil,’’ Midi terlihat sedih.

‘’Masih laku ikan kalian dijual di tempat pelelangan, Cuma si touke ikan itu yang pusing,’’ sahut Midah.

‘’Ooo….’’ Midi kembali sumringah. Hamidah lalu menggamit lengan saya menuju teras pondokan. Dia menceritakan sesuatu yang sangat penting. Pesan dari Waknya, yaitu Wak Rindu. ‘’Jadi, Wak Rindu memanggil saya? Kenapa saya?’’

‘’Kamu datang saja. Nanti juga tahu masalahnya.’’

‘’Jangan libatkan saya dong. Saya ini kan bukan warga kampung Rantau.’’

‘’Nggak bisa. Kamu harus datang,’’ nada Hamidah terdengar memaksa.

‘’Saya sendiri? Bagaimana teman-teman saya.’’

‘’Urusannya bukan teman-temanmu, tapi kamu.’’

‘’ Sekarang ya?’’

‘’Ya, iya sekarang!’’

‘’Ya sudah. Ayo…’’

Hamidah masih menggamit lengan saya. Terlihat agak mesra. Tapi saya cepat-cepat menghindar. Cara seperti ini bisa bikin situasi kampung menjadi tegang.

‘’Midi, Badrun dan Hamdi, kami ke rumah Wak Rindu…’’ saya pamit teman-teman.

‘’Awas jangan tidak ngundang kalau makan enak,’’ pekik Midi.

‘’Ya, ya…’’ kata saya.

Situasi kampung masih sepi. Mereka kebanykan pergi ke tempat pelelangan ikan. Sebagian warga masih diladang.

Di tengah perjalanan, Hamidah berusaha menggandeng lengan saya. Tapi saya terus menolak meski tidak ada yang melihat. Saya selalu ingat dengan kata-kata Wak Rindu, jangan sampai saya dicap sebagai lelaki pendatang yang besar kepala dan sombong. Saya harus menghargai perasaan orang kampung.

‘’Emm…bukankah tadi kamu bilang Wak Rindu masih ngurusi warga kampung soal ikan tidak laku?’’

‘’Ya, Wak tadi memang ngurusi masalah itu. Sebentar lagi juga pulang. Setidaknya sebelum pulang, kamu sudah berada di rumah kami,’’ sahut Hamidah. Saya berpikir, ini aneh. Masak saya harus menunggu tuan rumah, sementara tuan rumah yang mengundang saya tidak ada di tempat.

‘’Yang benar saja Midah. Masak saya harus menunggu Wak Rindu. Mestinya Wak Rindu menunggu saya,’’ saya menghentikan perjalanan. Kira-kira kurang dua rumah lagi sampai ke rumah panggung milik Wak Rindu. Kami berjalan lewat belakang surau.

‘’Sudahlah. Saya dipesan seperti itu,’’ Hamidah meyakinkan saya.

‘’Baiklah kalau begitu.’’

Sesampai di rumah Wak Rindu yang cukup besar bergaya rumah lama, yaitu panggung dengan tiang penyangga yang juga besar, menambah wibawa rumah yang didominasi kayu. Rumah lama memang semua panggung karena fungsinya sebagai antisipasi banjir dan binatang-binatang buas.

Begitu saya menaiki tangga dan mulai masuk, rasanya ada yang mengganjal dalam hati saya. Pokoknya jantung berdebar kencang dan bulu kuduk terasa berdiri. Ada apa ini? Pikir hati saya. Tapi saya sadar, perasaan gundah ini karena saya hanya berdua bersama Hamidah dalam rumah kosong. Edan! Kenapa pikiran saya begitu kacau seperti ini?

‘’Tutup saja pintunya,’’ pinta Hamidah tanpa beban.

Saya tercekat.

‘’Gila. Jangan ditutup. Biarkan terbuka.’’

‘’Pras, nanti ada yang ngelihat kita di sini.’’

‘’Lho, memangnya kita ngapain.’’

‘’Bagaimanapun, kita bisa dicurigai,’’ kilah Midah.

‘’Justru kalau pintu tertutup rapat, kita tambah dicurigai,’’ kata saya.

‘’Pras, setidaknya kalau ditutup warga kampung tidak tahu kalau kita ada di dalam rumah.’’

‘’Gila kamu Midah. Kenapa kita harus begini. Kenapa tidak nanti-nanti saja setelah Wak Rindu pulang. Kenapa sekarang. Kamu harus jawab jujur!’’

‘’Apa yang harus saya katakana Pras. Kamu sudah berada di rumah. Ya sudah, santai saja. Kalau kamu lari, kamu bisa dicurigai warga kampung.’’ Midah lalu menuju ke pintu dan menutupnya rapat-rapat. ‘’Aman, nggak ada yang melihat,’’ ujar Midah.

‘’Apa maksudmu?’’

Hamidah diam. Bola matanya bulat dan senyumnya cukup manis. Manis sekali. Saya baru sadar kalau di depan saya ada cewek manis yang biasa diidolakan banyak kaum lelaki.

****

Ini benar-benar masalah besar sepulang dari rumah Wak Rindu. Saya hampir tidak pernah bisa tidur nyenyak memikirkan masalah itu. Meskipun datang dan pergi dari rumah Wak Rindu tidak seorangpun yang melihat saya, tetapi perasaan gelisah menunjukkan bahwa keberadaan saya di rumah kosong itu diketahui warga kampung. Setidaknya Badrun, Midi dan Hamdi tahu kepergian saya bersama Hamidah.

Hamdi sendiri sempat bingung ketika ditanya Wan Maliki, keponakan Wak Rindu. ‘’Bukankah Prastyo di rumah Wak Rindu? Sebab tadi dijemput Hamidah menuju ke sana,’’ kata Hamdi pada Wan Maliki. Hamdi saat itu tidak merespon kecurigaan Wan Maliki tentang kami berdua. Wan Malik hanya manggut-manggut seperti sedang berpikir serius. Sebaliknya, Hamdi mengira saya memang sedang bermasalah dengan Wak Rindu.

Wan Maliki tahu kalau di rumah Wak Rindu tak ada seorangpun di sana, artinya rumahnya sedang kosong, kecuali hanya ada saya dan Hamidah. Ini bisa kacau! Pikir saya.

‘’Sejak kemarin kamu kelihatannya kacau. Ada apa Pras,’’tanya Midi.

‘’Nggak ada apa-apa,’’ jawab saya.

‘’Nggak usah bohong. Siapa tahu kami bisa membantu.’’

‘’Nggak ada.’’

‘’Ya, sudah kalau nggak ada.’’

Saya masuk kamar. Pikiran masih terbayang-bayang wajah Hamidah yang manis itu. Tapi bukan manisnya yang membuat saya pusing tujuh keliling, tapi kelancangan saya berduaan dalam rumah kosong. Ini yang membuat saya sulit untuk membantah. Saya melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu bersama Hamidah, orang pasti langsung menuduh bahwa saya berbuat mesum. Memang dalam ajaran Islam melarang laki-laki dan perempuan berduaan dalam kamar, sebab salah satunya adalah setan. Ini merupakan kesalahan besar. Tapi saya juga tidak tahu kenapa saya bisa sebodoh ini?

Pikiran saya terus berputar-putar. Menimbang-nimbang apa yang bakal terjadi besok tentang saya? Belum hilang pikiran kusut, tiba-tiba Hamidah datang lagi ke pondokan saya. Duh, ada apalagi ini.

‘’Mas Pras ada?’’ tanya Hamidah pada Hamdi.

‘’Ada. Masuk saja,’’ jawab Hamdi.

‘’Nggak. Biarlah di luar saja. Saya cuma mau minta maaf. Mungkin kemarin Mas Pras tersinggung.’’

‘’Tersinggung? Memangnya kenapa?’’ tanya Hamdi.

‘’Emm nggak ada apa-apa.’’

‘’Aneh, nggak ada apa-apa kok tersinggung. Memangnya kamu tolak cintanya ya?’’ Hamdi masih sempat berkelakar. Hamidah tersenyum malu-malu. ‘’Hayo…ngaku saja…’’ lanjut Hamdi.

Mendengar kelakar Hamdi seperti itu, dada saya serasa terbakar. Ingin rasanya meninju rahang Hamdi sampai copot. Hamdi tidak tahu kalau perasaan saya saat ini sedang perang dahsyat.

Saya lalu keluar kamar. Menuju tangga pondokan menemui Hamidah.

‘’Sebaiknya pikir dulu kalau ngajak saya. Cukup sekali saja. Jangan sampai ini bisa menjadi malapetaka bagi saya dan keluargamu.’’

‘’Saya minta maaf. Maksud saya, kamu bisa menunggu Wak sembari ngobrol di rumah.’’

‘’Tapi kan situasinya nggak pas. Nggak etis masak cuma kita berdua dalam rumah kosong. Untung nggak sempat digerebek warga kampung.’’

‘’Saya cuma ingin menyampaikan pesan Wak.’’

‘’Iya, saya tahu. Tapi Wak kan nggak ada di rumah.’’ nada saya mulai meninggi. Badrun dan Hamdi terlihat mengerutkan dahi. Mungkin mereka juga bingung mendengar perdebatan saya dan Hamidah.

‘’Maaf Pras.’’

‘’Maaf, maaf. Maksudmu itu apa? Mau memperlmalukan saya ya. Jangan begitu dong caranya. Ini artinya kamu sendiri nggak bisa menjaga diri. Kamu nggak bisa menterjemahkan bagaimana malapetaka terjadi?’’

Hamidah diam. Terlihat kedua matanya mulai lembab. Mendengar kata-kata saya yang nandanya menyalahkan dirinya, tak terasa air mata Hamidah mulai mengalir ke pipinya. Hamidah pun langsung pulang tanpa pamit siapa-siapa.

Pikiran saya kembali ruwet sepulang Hamidah dari Pondokan saya. Setidaknya kejadian ini bakal cepat tercium warga kampung kalau Hamidah habis menangis dari pondokan saya. Wah, ini jadi tambah nggak karuan!

Situasi di pondokan saya terasa tegang. Nggak ada yang berani bersuara mengenai perdebatan saya dan Hamidah. Teman-teman saya cuma bisa menebak-nebak kalau saya bermasalah dengan Hamidah, atau sebaliknya Hamidah bermasalah dengan saya. Tapi masalahnya apa, mereka juga tidak tahu.

‘’Badrun, Hamdi, Midi, ingat. Saya tidak melakukan apa-apa bersama Hamidah di rumah Wak Rindu.’’

‘’Lho, yang menuduh kamu melakukan apa-apa bersama Midah siapa?’’

‘’Saya cuma mengingatkan. Saya ribut bersama Hamidah lantaran saya merasa dijebak Hamidah. Saya kemarin ke rumah Wak Rindu, ternyata Wak Rindu nggak ada di rumah. Kami hanya berdua Hamidah di rumah kosong. Tahu kan kamu. Dua orang berlainan jenis berada di rumah kosong pasti menimbulkan fitnah. Saya melakukan atau tidak melakukan apa-apa bersama Hamidah, tetap saja saya bersalah…’’

Hamdi dan Badrun saling pandang.

‘’Kenapa harus bingung bila kamu nggak melakukan apa-apa, Pras’’ kata Hamdi.

‘’Bagaimana nggak bingung. Jelas-jelas saya berdua bersama dia disaat rumah itu sedang kosong.’’

‘’Sekarang yang mau disalahkan siapa.Kok kamu jadi aneh…’’

‘’Nggak tahulah. Aku jadi serba salah dengan orang kampung.’’

‘’Selama tidak ada yang mempermasalahkan, kenapa kita harus bingung. Santai sajalah.’’

‘’Ya, memang begitu. Tapi di kampung ini tidak sesederhana itu,’’ jawab saya seraya kembali ke kamar. Badrun dan Hamdi saling mengangkat bahunya, tanda sama-sama tidak tahu permasalahannya.

***

Esoknya isu maksiat tentang saya dan Hamidah mulai menyebar. Upik, Tandri, Bunga, Nila, dan Asmara selalu membicarakan tentang saya dan Hamidah. Bahkan dibumbui dengan cerita-cerita serem lainnya, yaitu saya telah memperkosa Hamidah. Cerita ini bisa lebih serem lagi bila diterima orang lain yang salah sangka, karena Hamidah sempat menangis.

Ini merupakan pukulan telak disaat saya akan meninggalkan kampung Rantau. Saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali terus meyakinkan orang lain kalau saya tidak melakukan apa-apa pada Hamidah.

Rupanya gossip ini sampai ke telinga Wak Rindu. Artinya saya siap-siap menerima sidang luar biasa. Sidang orang kampung yang biasanya bersifat sepihak. Posisi korban akan selalu dikalahkan oleh pendapat orang banyak. Yang benar bisa salah, atau sebaliknya yang salah bisa benar.

Wan Maliki, keponakan Wak Rindu lalu menjemput saya. Dia bilang wak Rindu mau bicara serius dengan saya. Nah, inilah saatnya saya harus stress menghadapi sesuatu yang sulit disanggah.

‘’Sekarang juga kamu harus menghadap Wak,’’ katan Wan Maliki.

‘’Saya sendiri atau dengan teman-teman saya.’’

‘’Boleh sendiri, boleh dengan teman-temanmu.’’

‘’Kalau boleh tahu, ada masalah apa?’’ tanya saya penasaran.

‘’Masalah penting,’’ jawab Wan Maliki.

‘’Ya, maksud saya, masalah penting itu apa.’’

‘’Sudahlah, nanti tahu sendiri.’’

‘’Apakah saya bermasalah dengan Hamidah?’’

‘’Rasanya ya, karena yang jadi pokok bahasan adalah kamu dan Midah.’’

‘’Itu fitnah. Mengada-ada.’’

‘’Apapun pembelaanmu, keputusan ada dalam sidang adat.’’

‘’Kalau pada akhirnya adat telah menjatuhkan keputusan saya bersalah, itu tidak adil, kecuali saya memang berbuat salah. Tapi saya tidak melakukan perbuatan asusila. Harus ada saksi yang memberatkan untuk menjatuhkan keputusan saya bersalah atau tidak.’’

‘’Apapun alasanmu, kamu harus menghargai keputusan kepala kampung dan tokoh masyarakat. Itulah ketentuannya di kampung ini.’’

‘’Tapi masyarakat juga harus menghargai saya dong. Saya punya hak untuk membela diri, kecuali masyarakat menangkap basah saya sedang berbuat asusila.’’

‘’Kamu tidak perlu berdebat panjang lebar dengan saya. Saya hanya diutus mengundang kamu datang pada rapat adat sekarang.’’

‘’Baik, saya ke sana sendiri,’’ kata saya.

Wan Maliki langsung beringsut pergi.

Saya tetap berdiri seperti orang bingung. Mengambil sesuatu selalu salah. Tapi saya mencoba untuk menenangkan perasaan meskipun detak jantung saya tidak bisa dibohongi, berdetak kencang seperti dikejar anjing.

‘’Apa kami juga ikut kamu, Pras,’’ tanya Midi.

‘’Biarlah saya sendiri. Soalnya yang punya masalah saya.’’

‘’Setidaknya kami bisa dijadikan saksi.’’

‘’Itu malah bisa simpang siur. Kalian cuma tahu saya pergi bersama Midah. Selanjutnya kalian tidak tahu. Itu yang saya khawatirkan. Informasinya hanya sepenggal.’’

‘’Maksud saya, kita bisa bercerita kalau Midah yang memanggilmu atas suruhan Wak Rindu. Jadi jangan sampai kesannya kamu yang ngajak Hamidah pergi ke rumah kosong milik Wak Rindu.’’

‘’Emm baiklah. Kalian boleh ikut. Tapi ingat, kesaksianmu jangan sampai membuat saya justru terpojok.’’

‘’Mudah-mudahan kita aman, soalnya kita memang tidak bersalah,’’ Midi bersemangat.

Kami berempat Midi, Hamdi dan Badrun menuju ke rumah Wak Rindu. Beberapa orang duduk-duduk di teras surau. Sebagian lagi ada yang nongkrong di warung Cek Ipah. Sedangkan di dalam rumah sudah ngumpul beberapa warga kampung. Kelihatannya benar-benar serius.

‘’Langsung naik saja,’’ pinta Wan Maliki yang menunggu di bawah tangga rumah Wak Rindu.

Kami berempat naik dan masuk ke dalam rumah Wak Rindu. Beberapa pasang mata tertuju pada saya. Seolah-olah saya memang sudah lama ditunggu dan siap untuk diadili.

‘’Sekarang langsung pada pokok permasalahan,’’ kata Wak Rindu setelah saya duduk lesehan diantara para tamu lainnya. Cara Wak Rindu menyambut kedatangan saya, tampak jelas bahwa saya telah divonis bersalah. Orang-orang kampung yang diundang Wak Rindu merupakan saksi persidangan, Apapun pertanyaan yang diajukan Wak Rindu, wajib saya jawab dan jawaban saya harus di dengar para tamu.

Inilah cara Wak Rindu memimpin kampung. Keras dan harus disaksikan orang banyak, termasuk jika ada ancaman secara fisik, Wak Rindu yang bakal menyelesaikan sendiri. Disatu sisi dengan cara keras dan otoriter sangat bagus dan bisa membuat kampung aman, namun disisi lain merupakan perampasan hak untuk membela diri demi kebenaran.

Mulut saya terasa kelu. Jantung berdebar-debar serta lutut bergetar seperti kedinginan.

‘’Kalian adalah pendatang yang keras kepala. Bukankah saya pernah mengatakan pada kalian?’’ kata Wak Rindu menatap tajam ke arah saya.

‘’Ya, Wak. Tapi saya bukanlah pendatang yang keras kepala.’’

‘’Kalian tahu hukuman orang yang melanggar aturan?’’

Saya tersentak. Sulit untuk mengatakan sesuatu kepada Wak Rindu disaat orang banyak memperhatikan saya. Satu kata salah, itu bisa fatal.

‘’Salah saya apa Wak?’’

‘’Kamu telah berbuat kesalahan besar. Kamu telah lancang berbuat maksiat disaat orang-orang sedang tidak ada di rumah. Kamu dengan beraninya melecehkan saya di kampung ini. Kamu tak beda jauh dengan pendatang sebelum kamu.’’

‘’Saya tidak melakukan apa-apa pada Hamidah. Sumpah demi Allah Wak.’’

‘’Sebaiknya kamu jangan bawa-bawa nama Allah.’’

‘’Tapi saya memang tidak berbuat apa-apa di rumah ini.’’

‘’Berduaan berlainan jenis di dalam rumah tanpa ditemani orang lain, itu adalah maksiat. Kamu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, siapa yang tahu? Kamu tetap bersalah. Laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrimnya dalam kamar, adalah dosa besar.’’

‘’Itu fitnah Wak. Fitnah. Saya tidak melakukan apa-apa,’’ saya berkilah.

Wak Rindu lalu memanggil Wan Maliki dan Hamidah dalam persidangan ala kampung Rantau ini. Wan Maliki yang duduk di bawah tangga rumah langsung naik dan duduk di sebelah Midi. Sedangkan Hamidah ditemani adiknya, Nindai, duduk ditengah-tengah hadirin.

‘’Saya kira Midi, Hamdi dan Badrun bisa jadi saksi saya. Saat itu saya tanya Hamdi, Pras bersama Hamidah menuju ke rumah Wak Rindu. Kita semua tahu pada jam-jam tertentu orang kampung sibuk di pelelangan ikan dan pergi ke ladang. Saya mencari Pras maksudnya agar Pras datang ke tempat pelelangan ikan. Ada beberapa kilo ikan milik Pras yang harus dibayar toke ikan. Tapi Pras tidak ada di pondokan, melainkan di rumah bersama Hamidah.’’

‘’Saya tidak tahu secara pasti masalah ini. Yang saya tahu, Hamidah memanggil Pras dengan suara berbisik. Ada sesuatu yang sangat penting. Pras sempat ragu, tapi akhirnya mengiyakan ajakan Hamidah. Hanya itu saja yang saya tahu,’’ ujar Hamdi.

Jawaban Hamdi ini sudah saya perkirakan sebelumnya, pasti bakal simpang siur. Buktinya dia menjawab kesaksiannya tidak seperti yang diceritakan di pondokan. Mestinya dia menjawab kalau saya datang atas suruhan Wak Rindu, tapi Hamdi tidak bicarakan itu.

Wak Rindu kemudian mengalihkan pertanyaanya kepada Hamidah tentang sesuatu yang terjadi dalam rumah yang tertutup rapat itu. Hamidah tidak bisa menjawab apa-apa, melainkan hanya menangis tersedu-sedu.

‘’Apa yang kamu lakukan. Jawab jujur…!’’ bentak Wak Rindu.

Hamidah makin tersudut dan merasa malu. Isak tangis sebagai orang yang bersalah membuat suasana terasa tegang. Sedangkan saya juga bingung untuk bicara jujur tentang kejadian yang sebenarnya. Sulit untuk mengatakan bahwa Hamidah yang menutup pintu dan jendela rumah. Bila saya mengatakan seperti itu, pasti orang-orang tetap tidak percaya. Itu hanya alasan pembenaran saya dengan mengorbankan orang lain bersalah. Laki-laki dimanapun akan mencari kesempatan. Jadi saya hanya diam dan serba salah. Saya tidak mungkin menjawab alasan yang harus dijawab Hamidah.

‘’Saya tidak menutup pintu dan jendela,’’ akhirnya saya harus menjelaskan kenyataan itu.

‘’Buktinya pintu dan jendela tertutup rapat. Kita memang tidak tahu apa yang kalian lakukan. Tapi dalam situasi seperti itu, kalian telah berzinah. Kalian telah mengotori kampung ini. Kalian harus segera menikah.’’

Orang-orang kampung semuanya mendengar kata-kata Wak Rindu bahwa saya telah berzinah bersama Hamidah, yang tidak lain adalah ponakan Wak Rindu itu sendiri. Saya benar-benar malu luar biasa. Saya rasa keluarga besar Wak Rindu juga merasa tertampar dengan kejadian ini. Posisi yang sangat sulit ketika orang yang tidak bersalah dikatakan salah, namun diamini para hadirin. Orang yang tidak salah dikatakan salah demi penegakan hukum adat yang terbuka. Dan yang paling memalukan lagi ketika kesalahan itu justru berasal dari keluarga tokoh kampung yang cukup disegani. Menyidang keluarganya sendiri untuk umum ibarat menepuk air di dulang, terpercik dimuka sendiri.

Saya berpikir, Wak Rindu terlalu percaya diri untuk urusan yang belum jelas. Mestinya Wak Rindu bisa lebih bijak dengan memanggil saya dan bicara empat mata, sebelum berita ini menjadi milik umum. Kenapa saya sampai ke rumah Wak Rindu, kenapa menutup pintu, kenapa hanya berduaan. Saya kira bila Wak Rindu tanya seperti itu secara tertutup, semuanya tidak akan ada yang merasa dipermalukan, dirugikan dan tidak ada yang disakiti. Tapi mengapa Wak Rindu harus melakukan itu semua?

Kalau saja saya harus menikahi Hamidah, maunya saya menikah dengan baik-baik, didasari rasa cinta, bukan menikah dalam keadaan terpaksa karena tuduhan melakukan perbuatan berdosa. Pernikahan ini menjadi tidak sakral, tidak suci. Ini sangat nista rasanya. Sepanjang hidup pernikahan saya ini akan dikenang orang dari sisi buruknya.

Saya mau menikahi Hamidah atau tidak, sebenarnya tergantung kata hati saya, karena saya bukan warga kampung Rantau. Bisa saja saya pulang lalu minggat entah ke mana. Tetapi menikahi Hamidah juga bukan sesuatu yang merugi karena paras Hamidah memang cantik dan menyenangkan.

Tidak masalah jika saya harus menikahi Hamidah. Yang jadi masalah dikemudian hari adalah karena saya sudah terlanjur mencintai Dinda Sarumpit. Hikam kakak Dinda yang kini mendekam di penjara, juga tahu. Bahkan Hikam pernah meninju perut saya gara-gara menganggap rendah Dinda. Tak hanya itu, Wak Rindu sendiri telah merestui rencana kami untuk sebuah reformasi tradisi pernikahan, bahwa menikah bukan membeli perempuan dengan harga mahal, tetapi hakekat menikah adalah kewajiban membina rumah tangga.

Pusing. Permasalahan yang bakal saya hadapi makin kompleks.

****

Malam hari sekitar pukul 23.00 WIB, udara di kampung Rantau benar-benar terasa dingin. Suara mesin kapal motor terdengar lapat-lapat diujung muara sungai. Bau asap pembakaran rumput dan sabut kelapa terasa khas. Bau asap ini memang sering tercium, terutama ketika udara malam tak lagi berhembus kencang dan kabut mulai menebal.

Teman-teman sudah beberapa jam lalu terlihat pulas tidurnya. Mereka seperti hidup disurga. Tanpa beban apapun juga. Makan terasa enak, tidurpun nyenyak. Bahkan kalau mimpi, mungkin juga mimpi yang indah-indah saja. Tetapi sebaliknya, saya sejak seminggu belakangan ini seperti hidup tersiksa. Sulit tidur dan kehilangan nafsu makan. Hari-hari yang saya lalui merupakan hari-hari yang menyebalkan. Saya seperti menjadi manusia tak berguna. Harga diri saya seolah-olah tercampakkan oleh keputusan bersalah.

Sekarang yang saya pikirkan, apakah saya ini benar-benar siap menikah secara mental dan material? Mungkin secara mental saya siap. Tetapi secara material perlu waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Saya baru sadar, beginilah rasanya mau menikah. Tidak seperti dalam perdebatan saya beberapa waktu lalu bersama Hikam, Wak Rindu, atau Mang Safii. Saya dengan entengnya pernah berkata kalau menikah tidak perlu puising-puising memikirkan materi. Menikah yang penting hakekatnya. Syah menurut agama dan disaksikan masyarakat kampung.

Tapi ternyata materi juga penting. Sebab menikah merupakan sebuah acara yang butuh event organizer (EO) kecil-kecilan. Tamu undangan perlu dijamu minum teh atau kopi, makanan kecil atau kue-kue dan makan malam dengan lauk ayam goreng, daging rendang, telur ayam dan tentunya rokok. Untuk sebuah acara yang paling sederhana saja, setelah saya total bisa sekitar dua puluh jutaan. Lumayan banyak untuk ukuran acara di kampung.

Saya kemudian mereka-reka lagi membeli seperangkat jas pengantin pria dan wanita, harganya 2 jutaan. Mas kawin 5 suku. Satu sukunya Rp 1.5 juta. Kalau lima suku jelas duitnya sekitar 7,5 juta rupiah. Sewa soundsystem untuk acara ningkukan Rp 2 juta. Total semuanya Rp 11,5 juta. Biaya itu diluar Rp 10 juta sebagai tanda lamaran. Lumayan bikin pusing kepala.

Uang 10 juta untuk melamar seorang gadis ini tergolong murah karena uang sebesar itu biasanya bagi mereka yang diawali dengan percintaan. Lamaran bisa mencapai 25 juta rupiah bila tanpa didasari cinta. Ada unsur pemaksaan memang. Lamaran 25 juta biasanya si cewek belum tentu tahu calon suaminya alias nikah terima jadi. Anehnya sampai saat ini pernikahan seperti itu masih menjadi budaya kampung Rantau.

Acara pernikahan bisa digelar besar-besaran dengan istilah nikah Kebo. Nikah kebo ini nikah paling bergengsi dengan memotong seekor kerbau. Karena ini merupakan suatu kebanggaan, maka mempelai wanita ketika prosesi nikah, menginjak kepala kerbau sembari menimbang kedua tanganyya menengadah ke atas, mirip orang sedang berdoa. Para kerabat yang tergolong masih sebagai pengantin baru biasanya juga ikut menemani mempelai. Busana yang dikenakan juga mirip pengantin. Sekilas kita bisa terkecoh siapa yang jadi pengantinnya? Sebab para pengantin baru itu juga berdandan habis-habisan.

Saya bingung harus melakukan nikah yang model bagaimana? Nikah kebo tidak mungkin. Nikah yang sedang-sedang alias sederhana juga masih belum cukup dari segi materi. Apalagi nikah tanpa diawali pacaran, nilainya bisa Rp 25 juta. Wah yang ini bisa kalang kabut..

Wajar saja Hikam sempat stress karena bertahun-tahun mengumpulkan 25 juta melamar Lagu Maringgi, kemudian dengan sekejab uang sebanyak itu habis tak tersisa. Inilah mahalnya sebuah pernikahan tanpa diawali masa pacaran. Kesannya memang membeli seorang gadis dengan harga mahal. Mungkin saya akan melakukan pernikahan Ashar, pernikahan paling sederhana dengan sungkeman bapak-ibu. Tapi apakah Wak Rindu sepakat?

Tiba-tiba keinginan untuk menemui Wak Rindu begitu kuat. Tapi saat ini sudah menunjukan jam 12 malam. Tidak mungkin lagi bertamu pada jam tengah malam seperti ini.

‘’Sudahlah, hari sudah tengah malam. Apa yang kamu pikirkan nggak bakal mengubah keadaan,’’ kata Midi setengah ngigau.

‘’Kamu mau menemani saya nggak?’’

‘’Mau ke mana malam-malam begini?’’

‘’Ke tempat Wak Rindu.’’

‘’Gila apa kamu. Sekarang sudah jam berapa? Mereka sudah pada tidur.’’

‘’Saya tetap mau ke sana.’’

‘’Besok kan bisa. Kayak dunia mau kiamat saja.’’

‘’Perasaan saya nggak enak kalau apa yang ada dalam hati tidak saya muntahkan.’’

‘’Hhhhhmmm….sudahlah, besok kami temani kamu ke sana.’’ Midi berkali-kali menguap.

‘’Kalau besok nggak perlu lagi. Saya pun berani tanpa ditemani siap-siapa.’’

Saya akhirnya bergegas dengan membawa amplob berisi Rp 2 juta dan cincin emas setengah suku dengan kadar 24 karat. Malam ini saya akan melamar Hamidah secara resmi.

Saya kemudian bergegas keluar rumah. Suasana kampung benar-benar terasa sepi. Hanya bunyi binatang malam yang terdengar lapat-lapat, bersahut-sahutan. Begitu juga bunyi mesin kapal motor juga menghiasi malam-malam yang penuh dengan kesunyian.

Saya mulai mengetuk pintu rumah Wak Rindu. Lama tidak langsung dibuka. Saya terus mengulangi mengetuk pintu, kali ini agak keras. Dari dalam rumah terdengar bunyi klik, menandakan kunci pintu telah dibuka.

‘’Siapa di luar?’’ tanya Hamidah setengah ketakutan.

‘’Saya, Prastyo. Mau bicara sama Wak Rindu,’’ kata saya pelan.

‘’Malam-malam begini kok ke sini. Wak sudah tidur,’’ ujar Hamidah yang hanya membuka daun pintu selebar empat jari. Padahal Wak Rindu belum tidur, masih nonton pertandingan sepak bola Sriwijaya FC vs PSIS. Tak lama Wan Maliki berkain sarung menyuruh Hamidah masuk kamar.

‘’Siapa yang datang?’’ tanya Wan Maliki.

‘’Pras…’’ jawab Hamidah. Pintu lalu dibuka lebar-lebar.

‘’Ada apa Pras?’’ tanya Wan Maliki.

‘’Saya mau bicara sama Wak Rindu.’’

‘’Apa tidak sebaiknya besok saja.’’

‘’Ada sesuatu yang penting.’’

‘’Baik. Masuklah..’’

Saya masuk dan duduk di kursi sebelah jendela. Saya sengaja tidak duduk di ruang tamu. Sebab tempat yang saya duduki merupakan tempat paling disukai Wak Rindu dalam kesehariannya. Duduk di dekat jendela sembari memandang sungai dari dalam rumah. Udara lewat jendela juga terasa nyaman. Begitu juga melihat jalan kampung tempat lalu-lalang motor roda dua, bisa membuat pikiran menjadi lebih terhibur.

Wak Rindu menghampiri saya. Ia lalu duduk tanpa bicara apa-apa. Mengeluarkan sebatang rokok keretek dan menyulutnya. Baru sekali hisap, Wak Rindu seperti salah tingkah. Membuka jendela rumahnya dan berkipas-kipas. Padahal udara rasanya tidak panas. Rokok baru setengah dihisap itu lalu dimatikan dalam asbak. Kemudian mengeluarkan sebatang rokok lagi dan menyulutnya.

Kali ini saya benar-benar menyaksikan si jagoan kampung sedang grogi. Tak bicara sepatah katapun sejak saya duduk berdua dengannya. Saya kemudian mengawali maksud kedatangan saya.

‘’Secara resmi saya melamar Hamidah Wak. Saya hanya punya ini,’’ saya mengeluarkan amplob warna coklat berisi Rp 2 juta dan cincin kawin setengah suku. Ini memang lamaran perkawinan paling gila. Datang tengah malam, uang lamarannya cuma dua juta.

‘’Kamu datang sendirian?’’ tanya Wak Rindu.

‘’Seperti Wak Rindu saksikan. Saya sendirian.’’

‘’Apakah kamu sudah tidak punya orangtua?’’

‘’Saya masih punya orang tua. Keduanya masih hidup. Tapi mereka sudah sangat sepuh.’’

‘’Apakah kamu tidak punya saudara di kampung ini.’’

‘’Tidak Wak, saudara saya jauh. Mereka ada yang di Lampung, Semarang dan Jakarta.’’

‘’Kamu tidak punya teman untuk menemanimu ke sini. Ini lamaran, setidaknya kamu mengerti tradisi dan kebiasaan orang kampung Rantau. Bagaimana kamu melamar anak gadis orang dengan cara seperti ini.’’

‘’Saya punya niat suci. Niat saya tulus untuk melamar ponakan Wak Rindu. Saya akan menikahi Hamidah.’’

‘’Saya tanya, apakah kamu benar-benar sudah siap menikah?’’ cecar Wak Rindu.

Spontan saya jadi kaget.

‘’Apa saya tidak salah dengar. Wak Rindu yang menyuruh saya segera menikahi Hamidah. Wak Rindu mengatakan demikian di depan orang banyak.’’

‘’Ini pertanyaannya beda,’’ sergah Wak Rindu.

‘’Beda bagaimana maksud Wak Rindu?’’

‘’Yang saya tanyakan kejujuranmu.’’

‘’Secara fisik saya siap. Usia saya saat ini 25 tahun. Tapi secara materi sebenarnya belum siap. Saya sudah pernah mengatakan pada Wak Rindu kalau saja harus menikah, saya akan menikah atas dasar cinta. Saya akan nikah Ashar. Pertama, kedua orangtua saya tidak bisa saya datangkan dalam acara pernikahan. Mereka sudah sangat tua. Kedua, Hamidah juga sudah tidak punya kedua orangtua, melainkan Wak Rindu yang mengasuhnya sejak kecil sekaligus sebagai orangtua dan wali nikah.’’

‘’Apakah kamu mau menikahi Hamidah atas dasar cinta?’’

‘’Semula atas dasar terpaksa. Tapi sekarang saya akan menikah atas dasar cinta. Saya sudah mengenal Hamidah setelah orang lain memaksakan saya untuk lebih mengenali dirinya.’’

Wak Rindu kemudian memanggil Hamidah. Gadis cantik yang belum pernah jatuh cinta itu disuruh duduk di dekat saya.

‘’Midah…’’ kata Wak Rindu.

‘’Ya, wak…’’

‘’Bener, kamu sudah siap menikah…?’’

Hamidah melirik ke arah saya. Lama tidak menjawab. Ada keraguan tersirat diwajahnya.

‘’Saya akan menikahimu, Hamidah,’’ spontan saya meyakinkan Hamidah.

Sambil menundukkan kepala, Hamidah pun kemudian berucap lirih, ‘’Ya, saya sudah siap….’’ jawab Hamidah.

Wak Rindu kemudian menyuruh Hamidah masuk kamar. Pembicaraan berikutnya adalah antara saya dan Wak Rindu.

‘’Kamu mau nikah apa?’’ tanya Wak Rindu.

‘’Sudah saya katakana tadi. Saya akan nikah Ashar saja Wak. Ini juga seperti rencana awal.’’

Wak Rindu lalu membuka amplob. Setelah dibuka, isinya hanya 2 juta rupiah dan cincin setengah suku. Lama Wak Rindu terdiam sembari menghisap rokok dalam-dalam. Ini lamaran model apa? Batin Wak Rindu.

‘’Besok jam sembilan malam kamu datang lagi ke rumah ini.’’

‘’Apa yang saya lakukan, Wak?’’

‘’Besok bakal ada orang banyak di rumah ini. Mereka akan menyidang kamu mengenai persiapan pernikahan.’’

‘’Lho, sidang apalagi, Wak?’’ tanya saya.

‘’Mereka akan menanyakan kemampuanmu untuk menikah.’’

‘’Kemampuan saya hanya segitu.’’

‘’Justru itu, kamu akan ditanya.’’

‘’Trus jawab saya bagaimana?’’

‘’Begini,’’ Wak Rindu diam seperti sedang berpikir. ‘’Apapun yang ditanyakan kamu jawab ya, atau siap.’’

‘’Maksudnya?’’

‘’Kamu akan ditanya apakah kamu siap menikah? Kamu jawab siap atau ya. Pokoknya apapun yang mereka tanyakan, tetap kamu jawab ya atau siap. Itu saja. Mereka yang bakal menyidang kamu itu adalah keluarga besar saya.’’

‘’Ya, Wak, saya akan menjawab seperti yang Wak katakan.’’

‘’Ya sudah, kamu pulanglah.’’

Saya langsung pulang setelah sebelumnya sungkem ke Wak Rindu terlebih dulu. Nggak terasa, malam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Ini lamaran orang paling gila di dunia! Pikir hati saya.

Setelah saya sampai di depan surau, saya dikejar Wan Maliki.

‘’Hei, Pras…’’

‘’Ada apa Wan.’’

‘’Kamu ada apa sih, kok mulus saja kayak jalan tol.’’

‘’Memangnya ada apa?’’

‘’Ini luar biasa. Kamu punya kesaktian apa?’’

Saya mengerutkan kening. Bingung menerjemahkan kata-kata Wan Maliki.

‘’Lho, kenapa memangnya. Saya baru melamar Hamidah.’’

‘’Wak Rindu langsung menerima?’’ tanya Wan Maliki

‘’Ya, besok saya kembali lagi ke sini.’’

‘’Hebat kamu.’’ Wan Maliki mengacungkan jempolnya.

Kembali saya mengerutkan kening. Apa hebatnya orang melamar seorang gadis untuk diperistri? Apakah karena saya melamar seorang diri tanpa ditemani siapa-siapa? Mungkin saja ini yang dimaksud Wan Maliki. Sebab yang saya hadapi adalah orang yang paling bengis di kampung Rantau. Siapapun tidak ada yang berani berhadapan langsung dengan Wak Rindu. Tapi saya? Malah duduk semeja dan berhadapan langsung dengannya. Hmmm, rasanya saya menjadi seorang pendekar hebat malam ini. Seorang ninja memang harus dihadapi dengan cara ninja.

****

Keluarga besar Wak Rindu sudah ngumpul di ruang tamu. Kira-kira jumlahnya ada belasan orang laki-laki dan perempuan. Lumayan banyak. Tapi saya tidak melihat Hamidah diantara mereka.

Kali ini saya datang ditemani Midi, Hamdi, dan Badrun. Meski sebelumnya saya sudah dikasih tahu Wak Rindu bakal di sidang oleh keluarga besar Wak Rindu, tapi saya tidak memberitahukan kepada teman-teman saya.

‘’Ada apalagi Pras,’’ bisik Midi.

‘’Sidang keluarga besar Wak Rindu,’’ kata saya.

Teman-teman saya kelihatan kikuk. Mereka semua tidak ada yang berani melihat ke kanan dan ke kiri. Mereka diam dan menundukkan kepala. Salah seorang keluarga Wak Rindu, Dillah, lalu menanyakan persiapan yang akan saya lakukan dalam pesta pernikahan.

‘’Nama lengkapmu siapa?’’ Tanya Dillah.

‘’Nama saya Eko Prastyo Nugroho.’’

‘’Kamu tinggal di mana?’’

‘’Saya tinggal di daerah transmigrasi Airsugihan, jalur 23, desa Suka Mulya.’’

‘’Masih punya orang tua?’’

‘’Masih. Alhamdulillah keduanya masih.’’

‘’Sudah lama kamu kenal Hamidah?’’

‘’Sudah cukup. Selama tiga bulan lalu saya mengenali Hamidah. Dia sudah yatim piatu. Diasuh Wak Rindu sejak kecil.’’

‘’Sudah lama kamu pacaran?’’

‘’Sejak saya datang di kampung Rantau ini,’’ kata saya mantap. Padahal sejak datang di kampung Rantau, orang pertama yang saya pacari adalah Dinda Sarumpit. Saya mencoba berbohong. Sebab saya tahu, bila menikah diawali dengan pacaran, biayanya bisa lebih murah.

‘’Kamu sudah siap menikah?’’ tanya Dillah lagi.

‘’Siap.’’

‘’Menikah itu besar biayanya. Lamarannya bisa 25 juta rupiah, apa kamu siap’’

Saya diam sejenak. Saya teringat kata-kata Wak Rindu bila disidang tetap mengatakan ya atau siap..

‘’Ya, saya siap,’’ kata saya penuh percaya diri.

‘’Dalam pernikahan nanti setidaknya akan mengundang sekitar seribu orang. Mereka perlu dijamu, harus ada acara makan-makan. Ini membutuhkan 2 kwintal beras. Apakah kamu siap?’’

‘’Ya, saya siap.’’

‘’Orang makan perlu lauk. Setidaknya kalau 2 kwintal beras, lauknya yang pas adalah kerbau. Apakah kamu siap?’’

‘’Ya, saya siap.’’

‘’Diantara tamu undangan mungkin ada yang tidak mau makan daging kerbau, tuan rumah harus menyediakan kambing, apakah kamu siap?’’

‘’Ya, saya siap’’

‘’Para tamu juga belum tentu mau makan daging kerbau dan kambing, mungkin mereka makan ayam atau telur, apakah kamu siap?’’

‘’Ya, siap.’’

‘’Para tamu undangan ketika makan perlu hiburan. Setidaknya ada organ tunggal, apakah kamu siap?’’

‘’Ya, saya siap.’’

Wak Dillah bengong. Seperti tak percaya dengan apa yang saya jawab. Begitu juga keluarga besar Wak Rindu lainnya. Mereka semua tertegun menyaksikan sidang pranikah ini. Tak hanya itu, Hamdi, Midi dan Badrun saling tatap setelah mendengar kesediaan saya menikahi Hamidah dengan berbagai persyaratan yang mungkin sulit dijangkau pemuda kampung, lebih-lebih seorang perantauan seperti saya.

‘’Saya ulangi lagi, apakah kamu menyetujui semua persyaratan yang kami ajukan tadi?’’

‘’Ya, saya siap’’

‘’Benarkah kamu siap?’’ Dillah meyakinkan.

‘’Ya, saya siap.’’ kata saya mantap.

Dillah kemudian memanggil Wak Rindu bahwa sidang telah selesai dengan persetujuan dan kesiapan saya. Wak Rindu kemudian menyalami saya dengan genggaman yang cukup kuat. Salaman semacam ini menandakan keteguhan, kemantapan, dan keyakinan yang mendalam.

Wak Rindu terlihat sangat bangga ketika semua orang mengagumi sikap dan keberanian saya. Tak hanya itu, semua orang kagum dengan kemampuan saya menikahi Hamidah dengan nikah kebo yang selama ini menjadi kebanggaan warga kampung Rantau. Hamidah merupakan gadis termahal di kampung Rantau. Sebab semua persyaratan tidak ada satupun yang saya tolak.

Padahal apa yang saya katakana tadi merupakan scenario Wak Rindu. Semua pembiayaan pernikahan akan ditanggung sepenuhnya oleh Wak Rindu sendiri. Ini merupakan cara Wak Rindu untuk mengangkat harkat dan martabat Wak Rindu di kampung Rantau sekaligus mengangkat harkat dan martabat Hamidah sebagai gadis yatim piatu. Selain itu, dengan cara seperti ini artinya menantu Wak Rindu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah orang kaya raya dari Airsugihan.

Saya kemudian minta waktu untuk menyampaikan rencana saya mengenai acara pernikahan yang bakal dilangsungkan sebulan setelah persidangan ini. Selagi para hadirin masih mengagumi saya, maka saya harus memberikan sambutan sepatah dua patah kata.

‘’Bapak-bapak ibu-ibu, semua persyaratan yang diajukan pada saya tadi, sudah saya bayarkan langsung kepada Wak Rindu kemarin malam,’’ kata saya tanpa ragu. ‘’Meski semua persyaratan sudah saya penuhi, namun saya menginginkan pernikahan saya nanti dilangsungkan secara sederhana. Bahkan saya menyukai acara paling sederhana dari yang sederhana. Mungkin saya meminta nikah Ashar saja. Saya akan melakukan sungkeman, setelah itu kenduri dan mohon doa. Saya berharap dengan kesederhanaan ini akan menjadi tradisi bagi generasi yang akan datang. Bapak-bapak, ibu-ibu yang kami muliakan, hakekat menikah adalah menjalankan kewajiban, bukan membeli seseorang dan berpoya-poya. Saya menikahi Hamidah atas dasar cinta, bukan harta. Sebab bila kita memposisikan cinta sebagai pondasinya, maka harta akan mengiringi langkah kita. Jodoh, rejeki dan maut adalah rahasia Tuhan. Untuk apa kita berlomba-lomba menyombongkan diri karna harta? Bila Tuhan menghendaki, harta akan binasa begitu saja. Sekali lagi, saya akan menikahi Hamidah dengan cinta! Suka dan duka akan saya arungi bersama. Hamidah sudah tidak punya kedua orangtua, sedangkan kedua orangtua saya juga sudah sangat tua dan sakit-sakitan. Saya tidak bisa melakukan pesta pernikahan bergaya kemewahan. Cukuplah doa restu bapak-bapak.

Tiba-tiba Hamidah menangis di sudut kamarnya ketika mendengar kata-kata saya itu. Beberapa tamu undangan juga merasa terharu. Ini tidak seperti biasanya, orang kaya akan selalu menunjukkan kekayaannya. Bila mana perlu selain motong kerbau, juga ada acara layar tancap dan orkes dangdut dua hari dua malam. Ini dimaksudkan biar ribuan undangan tahu siapa yang jadi pengantin malam ini.

Hamdi, Badrun dan Midi, saling berbisik. Mereka bertiga sama sekali sulit menerima kenyataan ini. Apa yang saya katakana tidak masuk dalam logika mereka. Darimana saya dapat duit sebesar itu? Bagaimana saya mampu secara materi menikahi gadis kampung Rantau yang penuh dengan segala persyaratan? Ini cerita gila yang baru mereka dengar. Bagi Midi, cerita cinta seperti ini hanya ada di novel, bukan kenyataan. Tapi bagi saya, ini kenyataan. Rahasia kehidupan terkadang memang tidak bisa dinalar dengan akal sehat.

****

Di kamar pondokan, Midi dan Hamdi terlibat pembicaraan serius. Mereka membicarakan rencana pulang. Tapi Midi mencegah. Sebab dua hari lagi saya naik pelaminan. Bila Midi, Hamdi dan Badrun pulang, tentu saya sendirian di kampung Rantau. Sementara kita berempat datang bersama-sama, maka pulang pun demikian, begitu kata Midi.

‘’Tapi masalahnya menjadi lain ketika Pras harus menikah di kampung ini. Apakah kita akan turut Pras? Kan tidak, soalnya masalahnya beda. Saya harus pulang karena saya harus kembali mengajar.’’ kata Hamdi.

‘’Saya hanya berpendapat, sebaiknya sehari setelah Pras menikah, kita lalu pulang. Gimana Drun, apakah kamu setuju seperti itu,’’ Midi minta pendapat Badrun.

‘’Kalau saya nurut saja bagaimana baiknya,’’ jawab Badrun.

‘’Sudahlah, kita harus menghargai Pras. Suatu saat kita juga mengalami keadaan seperti yang dialami Pras. Kita juga bakal menikah.’’ Midi meyakinkan teman-teman.

‘’Okelah, kita pulang hari Senin saja setelah acara Pras selesai.’’

‘’Nah begitu, soalnya malam hari sebelum pesta pernikahan, bakal ada acara ningkukan. Ini acara muda-muda saling bertemu. Apa kamu nggak pingin ketemu cewek di sini?’’ goda Midi.

‘’Kalau diantara kita ada yang kecantol cewek, artinya kita semua tidak bisa pulang ke Airsugihan. Kita bakal menyusul Pras,’’ celetuk Hamdi.

‘’Hahaha….!’’ Midi tertawa.

Saya yang sejak tadi nguping pembicaraan mereka dari dalam kamar ikut tertawa juga. Saya akhirnya keluar menghampiri mereka.

‘’Kata orang, menikah itu enak. Kita bisa menyesal, kenapa tidak menikah dulu-dulu?’’ saya menimpali.

‘’Sialan. Kamu enak. Kita yang tidak enak.’’ kata Hamdi.

‘’Tidak enak bagaimana. Sebentar lagi kita makan-makan. Malam nanti ada acara ningkukan. Kalian bakal bertemu gadis-gadis kampung Rantau. Bersiap-siaplah bergaya. Biar kecantol,’’ saya menepuk pundak Hamdi.

‘’Ngeri, Pras. Kamu diam-diam banyak duit. Kapan saja siap menikahi gadis orang. Sedangkan kami ini, bagaimana mau menikah dengan persyaratan yang cukup berat itu.’’

‘’Bila kalian punya niat tulus, semua ada jalannya.’’

‘’Gombal juga kamu Pras. Bagaimana saya percaya kamu punya niat tulus. Sebelum mau menikahi Hamidah, kamu kan statusnya pacaran sama Dinda Sarumpit. Trus bagaimana nasib Dinda? Kamu belum membicarakan putus sama Dinda, tahu-tahu kamu mau menikahi Hamidah.’’

‘’Begini Ham, status saya dengan Dinda memang pacaran. Tapi yang tahu seberapa kedalaman jalinan cinta kasih, cuma saya sendiri. Saya benar-benar jatuh cinta sama Dinda, tapi Dinda tidak memberikan sinyal yang jelas. Tak pernah menyambut secara terbuka.’’

‘’Tapi Hamidah setidaknya pernah mengatakan padamu bahwa kebiasaan gadis kampung Rantau sering berpura-pura. Ingat itu. Artinya kita yang harus mengembala dia.’’

Aku diam. Aku masih ingat kata Hamidah ketika itu. Dia bilang bahwa gadis Rantau memang sering berpura-pura tidak merasa dicinta, padahal mereka butuh untuk dicinta.

Batin saya mulai menggeliat lagi memikirkan tentang Dinda. Saya yakin Hamidah juga akan merasa tidak enak ketika teringat masa lalu. Betapa rumitnya kita harus menjalani takdir. Jalan yang berliku penuh dengan dendam dan sakit hati.. Lantas kita mereguk kebahagiaannya.

‘’Jujur, ingatan saya pada Dinda mulai menguat lagi. Menurutmu apa perlu kita kasih undangan atau tidak?’’

‘’Ini pertanyaan yang berat untuk dijawab,’’ tutur Midi.

‘’Ya, disatu sisi, dia tetangga dekat kita. Di sisi yang lain, saya merasa sebagai pengkhianat.’’

‘’Tapi kamu sudah memutuskan menikahi Hamidah, artinya apapun resikonya, ya jalani saja apa adanya. Menurut saya, nggak apa-apa kasih undangan.’’

‘’Apakah nggak tambah melukai hatinya. Jujur saya jadi kasihan. Saya serba salah. Baik Hamidah maupun Dinda nasibnya hampir sama. Hamidah gadis yatin piatu, Dinda juga. Bedanya ibu Dinda masih hidup, tapi ibunya kan sudah sangat tua dan sudah tidak bisa apa-apa lagi. Sedangkan kakak tertuanya, Hikam sudah beberapa bulan ini dipenjara. Jadi mereka memang orang yang perlu kita kasihani. Atau begini, emm, coba kamu dekati dia.’’

‘’Ah, gila kamu Pras. Urusan cinta nggak segampang itu. Perlu proses pengenalan pribadi, baru jatuh cinta.’’

‘’Di kampung Rantau tanpa proses pacaran bisa menikah kok, asal ada 25 juta rupiah, kamu pilih gadis seperti apa saja bisa.’’

‘’Masalahnya jadi lain bila kita membicarakan pernikahan di kampung ini. Harus dibedakan urusan cinta dengan nikah. Cinta urusan dua hati.’’

‘’Lho nikah itu kan juga urusan dua hati.’’

‘’Tapi bila yang kamu bicarakan tanpa cinta bisa nikah, kan artinya jadi lain. Artinya nggak mesti kita cinta, tapi berapa banyak hartanya. Ah, nggak enak kalau kita nikah seperti itu. Nggak ada syurganya. Nggak ada tantangannya. Nggak ada seninya. Nggak beda jauh membeli perempuan di hotel-hotel. Malah harganya nggak semahal itu. Lima ratus ribu saja bisa kita dapat perempuan seperti artis.’’

‘’Jaga mulutmu. Kamu harus bisa memposisikan antara pelacur dan istri. Kalau pelacur memang berdagang. Tapi kalau istri memiliki ikatan tanggungjawab dan syah menurut hukum agama dan negara.’’

‘’Itu bahasa halusnya. Substansinya sama. Masak tanpa pacara bisa dipatok 25 juta rupiah.’’

‘’Tetap harus dibedakan.’’

Hamdi tersenyum sinis.

‘’Ya, ya. Kamu memang selalu benar,’’ sungut Hamdi

‘’Sudahlah, sekarang kalian cari tahu di mana alamat Dinda di Palembang. Kamu tanyakan pak RT. Bila sudah tahu alamatnya, kirim saja undangan lewat pos kilat.’’ kata saya.

Hamdi dan Midi berbagi tugas. Hamdi menuju ke rumah Pak RT minta alamat Dinda yang di Palembang, sedangkan Midi menyiapkan undangan lokal kampung Rantau.

Saya kemudian menuju ke rumah Wak Rindu membicarakan segala sesuatunya, termasuk persiapan prosesi pernikahan. Ini merupakan prosesi pernikahan asing bagi saya. Sebab saya harus mengikuti kebiasaan-kebiasaan kampung Rantau yang selama ini belum pernah saya kenal.

Beberapa orang sudah mulai ramai di rumah Wak Rindu, terutama keluarga besar Wak Rindu. Mereka mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara prosesi pernikahan saya besok. Sedangkan Hamidah tidak ikut membantu kesibukan, melainkan tetap berada di dalam rumah. Sama halnya dengan perempuan Jawa yang siap menikah, mereka juga dipingit.

Saya menemui Hamidah di ruang tengah yang ditemani Upik dan Asmara. Calon istri saya itu benar-benar tampak cantik malam ini. Mengenakan busana putih, rambutnya bergerai panjang.

‘’Midah, kemarilah,’’ kata saya.

‘’Ada apa mas Pras?’’

‘’Saya mau bicara, saya berharap kamu tidak tersinggung.’’

‘’Ya, bicara apa?’’

‘’Saya tadi rembugan bersama teman-teman saya.’’

‘’Mengenai apa?’’

‘’Undangan. Apakah perlu Dinda kita kasih undangan?’’

Hamidah menatap lekat kedua mata saya. Hati perempuan semuanya sama. Dia bisa merasakan bagaimana hancurnya perasaan Dinda setelah tahu Pras ternyata harus menikahi orang lain. Meskipun sebenarnya pernikahan ini bukan yang dikehendaki. Tapi bagi Hamidah ini merupakan pernikahan jalan takdir. Harus dilalui kendatipun jalannya terlalu terjal.

‘’Sebagai perempuan, saya sangat merasakan betapa hancurnya perasaan Dinda,’’ kata Hamidah. ‘’Dia teman baik saya,’’ lanjut Hamidah.

‘’Ya, saya juga merasakan.’’

‘’Pernikahan kita adalah pernikahan atas dasar terpaksa, mas Pras.’’

‘’Tidak. Ini jalan takdir yang harus kita lalui. Tuhan telah berkehendak lain. Ada rencana-rencana lain yang sama sekali kita tidak tahu.’’

‘’Sebenarnya takdir bisa dirubah, tergantung kaum itu sendiri.’’

‘’Tapi buktinya, kita telah menjadi bagian sejarah dan sunah alam. Kita tidak pernah menyadari bakal terjadi seperti ini. Tak pernah menyadari bakal menjadi suami istri. Kita tidak tahu asal usulmu, begitu juga kamu tak tahu darimana asal usul saya. Inilah sunah alam yang yang bersifat misteri.’’

‘’Kalau saja dalam persidangan mengedepankan praduga tak bersalah, tentu kita tidak menikah dengan terpaksa.’’

‘’Sebaiknya kita tidak mengedepankan kata terpaksa. Saya yakin Tuhan punya rencana lain. Dan kita harus menjalaninya. Pada awalnya merupakan terpaksa. Tapi akhirnya tidak. Saya tulus ikhlas menikahi kamu atas dasar cinta.’’

Hati Hamidah berdesir.

‘’Trus apa yang Mas lakukan untuk memberi tahu Dinda?’’

‘’Kita harus terus terang menjelaskan Dinda ‘’

‘’Terus terang bagaimana?’’

‘’Manusia punya rencana, tetapi Tuhan yang menentukan.’’

‘’Apakah alasan itu bisa diterima?’’

‘’Saya rasa kamu lebih tahu bagaimana kebiasaan orang di sini.’’

‘’Membicarakan masalah hati, semua manusia itu sama.’’

‘’Yang pasti kita jelaskan bahwa ini bagian dari takdir.’’

‘’Simpel sekali alasannya.’’

‘’Trus, mau bilang apa.’’

‘’Menurut saya ini bagian dari jalan pengkhianat.’’

‘’Eit, nggak boleh bilang seperti itu.’’

‘’Lantas bilang apa?’’

‘’EGP. Emang gue pikirin…hahaha,’’ saya tertawa, mencoba menirukan lagu Maia berjudul EGP.

Upik dan Nora yang berada di kamar Hamidah terdengar ikut tertawa. Mungkin pembicaraan saya dianggap lucu. Padahal sama sekali tidak lucu. Saya sebenarnya sangat gelisah. Saya sendiri tidak tahu mengapa perasaan saya menjadi aneh. Saya mencintai Hamidah, tetapi saya juga tidak bisa meninggalkan Dinda. Kedua perempuan kampung Rantau ini begitu dekat di hati saya. Ini bukan karena paras keduanya yang cantik, tapi lebih dari itu. Mereka sama-sama bernasib menyedihkan.

Terkadang timbul dalam pikiran saya mau poligami. Tapi apa saya bisa melakukan? Trus apa keduanya setuju? Meski selama ini saya kenal perempuan kampung Rantau tidak sulit untuk dinikahi, namun saya berpikir keras bahwa poligami belum tentu bisa membahagiakan mereka. Pasti salah satunya ada yang iri, dan sakit hati. Ini artinya saya tidak bisa memberikan kebahagiaan secara batiniah. Tapi bila tidak saya apa-apakan, saya takut menimbulkan fitnah, karena bagaimanapun saya pernah menjalin cinta pada Dinda

***

Seperti janji saya, pernikahan Ashar saya lakukan. Orang-orang kampung tampak begitu menghormati acara ini. Mereka semua datang mengiringi saya dari belakang. Saya lalu melakukan sungkeman kepada Wak Rindu dan Siti Umayah, istri Wak Rindu, yang merupakan wali nikah Hamidah. Sedangkan orangtua saya diwakili wali hakim.

Meski pernikahan sederhana, namun gaungnya cukup luar biasa. Mirip nikah kebo. Ini karena orang kampung tahunya saya ini adalah keturunan orang kaya raya yang suka merendah. Tapi tidak mau dengan pesta yang mewah.

Beberapa teman-teman Hamidah juga terdengar saling berbisik. Mereka menyayangkan kami tidak menggelar pesta besar-besaran. ‘’Sayang sekali tidak digelar besar-besaran. Nikah itu hanya sekali untuk seumur hidup. Tidak ada salahnya bila punya biaya digelar besar-besaran,’’ bisik Nora pada Upik.

‘’Tapi mas Pras yang tidak mau,’’ kata Upik.

‘’Ya, maksud saya kenapa tidak mau ya?’’

‘’Mungkin malu, sebab nikah mereka itu kan nikah basah. Nikah karena tertangkap berbuat zinah,’’ Upik menutup mulutnya. Nadanya sedikit meledek.

‘’Hussttt…! Tapi itu kan belum tentu mereka berbuat zinah.’’

‘’Laki-laki dan perempuan yang bukan mukhrim di suatu tempat tanpa ditemani orang ketiga, hukumnya adalah zinah. Itu saja.’’

‘’Itulah sayangnya. Mungkin mereka malu. Makanya ketika disidang pra nikah semua persyaratan disetujui Pras tanpa ada yang ditolak satupun.’’

‘’Ya, itu untuk membayar dosa-dosanya di kampung Rantau.’’

‘’Hamidah jadi orang yang beruntung, ibarat sudah ngantuk disorong bantal. Sudah saatnya menikah, langsung disambar orang. Hehehe…’’ Nora tertawa.

‘’Sssssst, jangan keras-keras didengar mas Pras,’’ bisik Upik.

Pembicaraan kedua perempuan itu memang saya dengarkan. Saya lalu menemui mereka.

‘’Apa kalian tidak ingin cepat-cepat nikah?’’

‘’Nikah sama siapa mas Pras,’’ sahut Upik.

‘’Ya, sama orang. Memangnya sama monyet?’’ saya tertawa. Nora dan Upik juga ikut tertawa.

‘’Saya dengar tadi, ada yang membicarakan saya nikah basah.’’

‘’Ya mas Pras, soalnya habis nikah nanti langsung nyemplung sungai.’’

‘’Jangan bikin gosip yang tidak-tidak. Jelek-jelek Hamidah itu teman akrab kalian. Menjelek-jelekkan teman sendiri, sama artinya dengan mejelek-jelekan diri sendiri.’’

‘’Siapa bilang Hamidah jelek. Mas Pras sendiri yang bilang jelek kan.’’

Hamidah yang berada di belakang saya tersenyum.

‘’Bagaimanapun, orang jelek ini besok malam sudah syah jadi istri saya. Kemudian saya akan nyemplung ke sungai berbasah-basah ria. Kalian nggak kepingin nikah? Nyesel lho…’’ gurau saya.

‘’Mas Pras ini lucu…’’

‘’Apanya yang lucu?’’

‘’Kayak nggak punya dosa gitu.’’

‘’Lho memangnya saya pernah berbuat salah apa?’’

‘’Nah kan…nggak merasa.’’

‘’Nggak merasa bagaimana kamu ini.’’

‘’Orang kampung kalau habis disidang biasanya nggak pernah keluar rumah. Minimal selalu murung. Tapi mas Pras biasa-biasa saja. Malah kelihatan ceria. Nggak berdosa gitu lho.’’

‘’Dalam ungkapan bahasa Jawa, becik ketitik olo ketoro. Artinya baik akan menjadi perhatian, dan jelek akan tetap kelihatan. Jadi inilah contohnya kalau tidak pernah merasa berbuat salah. Lihat wajah Hamidah…’’ kata saya melirik Hamidah.

‘’Kok kita santai-santai saja sih. Pik, tolong kamu panggilkan Wak Dollah. Nanti kita pakai baju apa. Trus kita numpang ke rumah siapa ngawali iring-iringan sungkem. Cepet ya,’’ sela Hamidah.

Meski nikah Ashar ini cukup sederhana, namun tetap ada acara iring-iringan pengantin dari rumah mempelai pria ke rumah mempelai wanita. Rumah mempelai pria bisa numpang ke rumah tetangga hanya sebagai syarat. Beberapa grup rebana juga sudah siap. Para warga kampung saya lihat juga nampak sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Saya merasa pernikahan saya ini sulit dinalar dengan akal sehat. Mulai dari perkenalan saya dengan Hamidah sampai pada proses lamaran dan besok siap nikah, semua lancar-lancar tanpa ada halangan apapun. Saya juga tidak merasa kesulitan dengan biaya nikah. Sungguh, ini saya rasakan seperti mimpi saja. Bahkan saya setengah tidak percaya kalau saya mau nikah.

***

Saat yang saya tunggu-tunggu telah tiba. Saya benar-benar jadi suami Hamidah secara syah. Sungkeman sudah saya lakukan kemarin bersamaan dengan akad nikah. Ketiga teman-teman saya, Hamdi, Badrun dan Midi sudah tidak ada di kampung Rantau. Mereka sudah pulang ke Airsugihan. Tinggal saya sendiri yang kini masih numpang di rumah Wak Rindu. Bahkan mungkin saya akan menetap di kampung Rantau.

Dalam keheningan malam, saya mulai teringat bapak dan ibu saya di kawasan transmigrasi Airsugihan, adik-adik saya yang masih duduk di bangku SMA, dan si ragil Alex yang masih duduk di bangku SMP. Mereka saya beritahu lewat surat kalau saya mau menikah di kampung Rantau Sungsang. Selebihnya mereka tak bisa apa-apa lantaran pernikahan saya termasuk pernikahan paling cepat. Masa persiapan sampai pada puncak lamaran hanya seminggu. Disatu sisi, saya sangat sedih karena ibu saya pasti kaget.

Dan kini status saya tak lagi bujangan. Saya mulai memilah-milah tugas dan tanggungjawab sebagai suami istri. Saya mulai meleburkan diri pada dua karakter yang berbeda. Tradisi yang berbeda dan watak yang juga berbeda. Kewajiban saya saat ini adalah 70 persen menafkahi istri, 20 persen membantu adik-adik saya yang masih sekolah dan 10 persen untuk orang lain. Padahal selama ini saya merupakan tulang punggung keluarga. Dengan gaji pensiun Rp 600, bapak saya memang tidak merasa kesulitan, tapi akan sangat terbantu bila saya juga ikut membiayai adik-adik.

Saya tidak menyesal menikah sekarang, meskipun sebenarnya saya punya rencana mau kuliah lagi. Saya punya keinginan menjadi penulis terkenal. Sebab sejak duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru (SPG) saya sudah aktif menjadi penulis freelance di Majalah Fakta Surabaya, Harian Ekonomi Neraca Jakarta, Wanita Indonesia Jakarta, dan Media Indonesia Jakarta serta Koran lokal Palembang. Setiap bulan saya menerima honor 900 ribu rupiah. Honor ini cukup untuk biaya kuliah saya dan biaya sekolah adik-adik saya.

Mungkin di kampung Rantau ini saya akan melanjutkan menjadi penulis. Saya tidak mungkin memaksakan diri menjadi nelayan, sebab nelayan bukanlah profesi saya. Saya kurang pandai berenang dan mencari ikan. Tapi ada hal-hal yang menarik di kampung Rantau yang bisa saya jadikan obyek tulisan.

Malam yang hening ini, saya masih belum bisa memejamkan mata. Sedangkan istri saya terlihat sudah pulas tidurnya. Terkadang saya masih sempat canggung dan sering kaget membelai tubuh istri saya yang tergolek itu. Saya masih belum percaya seratus persen kalau saya saat ini sudah menikah. Sedangkan perempuan yang saya peluk adalah istri saya syah.

Hmmm, mungkin saja karena saya masih baru menjadi pengantin. Wajar bila agak sedikit canggung dan ragu-ragu. Saya terus memperhatikan istri saya yang tergolek di kasur empuk itu, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Padahal saya dulu pernah meledek dia, pernah ngomongi Dinda bersama dia, pernah menanyakan tentang kebiasaan perempuan Rantau, kini dia malah jadi istri saya.

Saya tersenyum sendiri. Ini adalah malam pertama saya tidur sekamar dengan seorang perempuan. Tapi entah mengapa saya belum bisa melakukan apa-apa. Semuanya serba kaku dan canggung. Apakah karena masa pacaran saya belum cukup? Entahlah, yang pasti malam ini hingga pulu 02.00 WIB saya belum bisa tidur. Dan saya juga merasa bersyukur pada acara pernikahannya, Dinda tak kelihatan, artinya dia memang tidak pulang kampung. Seandainya dia pulang kampung dan tahu saya menikahi teman akrabnya sendiri, saya tidak tahu apa yang bakal terjadi.

Hamidah terlihat membalikan posisi tidurnya. Seperti meraba-raba sesuatu di tempat tidur. Mungkin yang dia maksud adalah meraba-raba tubuh saya. Sedangkan saya duduk di kursi, jauh dari tempat tidur. Saya juga ragu untuk menekan setiap abjad dalam mesin ketik. Takut suaranya membangunkannya disaat ia sedang tidur pulas.

‘’Lho, Mas, sedang apa. Kok belum tidur,’’ Hamidah terjaga.

‘’ Saya nggak bisa tidur, Midah’’ kata saya.

‘’Kenapa?’’

‘’Entahlah, saya tiba-tiba teringat ibu saya di kampung Airsugihan. Saya juga teringat adik-adik saya yang selalu manja dengan saya.’’

Hamidah kemudian bangun dan menghampiri saya. Memeluk saya dari belakang seperti ingin memberikan kehangatan malam yang dingin. Memijit-mijit punggung saya. Padahal saya paling tidak suka dipijit..

‘’Saya juga merasakan seperti yang Mas rasakan. Saya tahu mas belum memberitahukan hal ini secara gambling kepada mereka. Soalnya pernikahan kita adalah pernikahan tercepat dan singkat.. Saya masih ingat kata mas, inilah jalan takdir yang nggak bisa kita tolak. Tapi harus kita syukuri.’’

‘’Ya, saya tidak menyesal. Saya bangga punya istri seperti kamu.’’

‘’Kalau begitu, ayo tidur. Hari sudah sangat larut.’’

Hamidah merengkuh tangan saya menuju tempat tidur. Bulu kuduk saya masih suka merinding bila disentuh perempuan. Rasa berdesir begitu kuat memompa jantung saya. Tapi Hamidah memahami apa yang terjadi pada diri saya. Sehingga dia tidak serta merta ngajak membelah durian dalam istilah pengantin baru.

Dalam tidur, saya terus mengajak cerita tentang masa depan, anak mungil yang lucu dan rumah yang sederhana. Saya menceritakan tentang rencana ke depan saya ingin melamar menjadi wartawan surat kabar.

‘’Pertimbangan saya, kalau saya menjadi penulis freelance, saya nggak punya status jelas. Pemasukannya juga tidak jelas. Tapi kalau saya tercatat sebagai wartawan tetap, setidaknya saya punya gaji dan tunjangan kesehatan bagi keluarga,’’ kata saya dalam posisi tidur sembari memeluk istri saya.

‘’Memangnya selama ini Mas menjadi penulis ya.’’

‘’Sejak sekolah SPG saya sudah aktif menulis.’’

‘’Emm, kalau saya sih mendukung pekerjaan mas. Saya tahu mas bukanlah dari keluarga nelayan. Mas tidak pandai berenang dan tidak tahu jenis ikan yang mesti ditangkap.’’

‘’Tapi saya pandai menangkap ikan perempuan di kampung Rantau ini.’’

‘’Ah, Mas ini bisa aja.’’

Hamidah mencubit perut saya.

‘’Emm, sekarang status kita adalah suami istri. Kita harus punya rencana ke depan. Rumah tangga tanpa rencana, ibarat perusahaan tanpa proyeksi yang jelas. Arahnya tidak bisa terkendali,’’ lanjut saya.

‘’Rencana Mas apa?’’

‘’Besok kita ke Airsugihan. Setidaknya saya harus mengenalkan kamu kepada bapak dan ibu saya serta adik-adik saya. Kamu sudah menjadi bagian keluarga besar saya. Mereka juga harus tahu tentang kamu.’’

‘’Ya, saya setuju.’’

‘’Pada malam ini pula kita harus saling sepakat tentang segala hal. Apapun yang menyangkut rumah tangga kita, harus kita bicarakan bersama. Mungkin ini terdengar sepele, tapi penting.’’

‘’Misalnya apa Mas.’’

‘’Kita dari keluarga yang berbeda. Dari adat istiadat yang berbeda. Watak kita juga berbeda. Kita sepakat melebur satu sama lain. Saling memahami. Ibu saya orangnya sangat peka, mudah tersinggung, dan tidak suka melihat orang yang tidak punya sopan santun. Itulah kelebihan dan kekurangan ibu saya. Dan saya sudah memahami Wak Rindu dan keluarga besarmu. Orangnya arogan, terkadang kalau ngomong tak peduli apakah orang lain tersinggung atau tidak. Tapi itulah kelebihan dan kekurangan Wak Rindu, sudah saya pahami,’’ kata saya.

‘’Ya, mas,’’ sahut Hamidah.

‘’Ibu saya sangat sayang pada saya, meski kami empat bersaudara. Mungkin ibu tidak suka bila kamu membiarkan saya membuat kopi sendiri, mencuci baju sendiri dan lain-lain. Sampai sekarang ibu sering membikinkan kopi pada saya, ini artinya ibu memang menyayangi saya. Tolong kamu harus bisa menerjemahkan perilaku ini. Jangan langsung tersinggung kenapa ibu membuatkan kopi untuk saya. Kecuali kalau ibu belum bikin, kamu bikin duluan. Inilah tradisi kami bagaimana menyayangi keluarga, meski hanya secangkir kopi.’’

‘’Ya, mas. Sudah semestinya tugas itu adalah tugas istri.’’

‘’Bagus, kamu bisa memahami. Artinya kita sepakat dengan tugas masing-masing. Kamu menjadi ibu rumahtangga yang baik, sedangkan saya mencari duit. Rencana besok tetap ke Airsugihan naik speedboat.’’

‘’Orang Airsugihan selain ibu, siapa saja yang sudah Mas beritahu kalau mas sudah menikah?’’

‘’Cuma ibu. Yang lain tidak sempat saya beritahu.’’

‘’Apakah kita tidak disangka macam-macam oleh warga kampung Airsugihan?’’

‘’Itu urusan nanti. Begitu kita sampai, saya suruh Midi ngundang orang kampung yasinan bersama di rumah saya. Pada saat acara itulah kita bisa jelaskan kalau kita sudah menikah. Kan Midi, Hamdi dan Badrun pasti sudah memberitahukan orang-orang kampung.’’

‘’Wah, pintar juga Mas,’’ kata Hamidah sembari meraba-raba dada saya.

‘’Kalau nggak pintar nggak bisa menikahi kamu dong.’’

Hamidah langsung mencubit pusar saya. Secara refleks saya menepis tangan Hamidah sembari menggeliat geli. Tubuh saya seperti terbanting sehingga ranjang tempat tidur saya pun berderit keras. Brukk! Hamidah ikut kaget dan hampir menjerit, tapi ditahan.

‘’Pelan-pelan, tempat tidurnya bunyi,’’ bisik Hamidah.

‘’Nggak sengaja. Cuma reflek,’’ kata saya lirih.

‘’Ya nggak usah geliat-geliat kayak gitu kenapa.’’

‘’Bagaimana nggak kegelian, kamu sendiri yang ngawali.’’

‘’Sudah, nggak usah brisik, semua orang sudah pada tidur, nanti malah terbangun,’’ kata Hamidah.

Wak Rindu yang tidur di kamar sebelah sempat terbangun. Menyadari suara brisik itu bersumber di kamar saya. Kemudian Wak Rindu tidur lagi. Namanya juga pengantin baru! Pikir hati Wak Rindu.

Malam pertama di rumah mertua ini memang serba tidak enak. Membenari posisi tidur saja ranjang selalu berbunyi. Bergerak sedikit bisa menimbulkan suara berderit.

Saya lalu mematikan lampu. Udara malam yang begitu dingin membuat kami berdua terasa hangat. Kami tak lagi berbisik, berkata-kata. Malam mengajari kami untuk menerjemahkan bahasa yang indah. Seindah bulan purnama yang ditingkahi awan berarak, daun-daun berguguran. Kabut tebal yang menyapu kaki langit seperti membawa embun dingin masuk lewat celah-celah jendela kamar. Dingin menyusup setiap pori-pori tubuh kami.

Malam ini kami serasa terbang melayang entah dilangit sap berapa. Tak lama lagi Hamidah terdengar mendesis, dia mulai terlelap dalam tidurnya.

****

Pukul 11 siang. Saya dan Hamidah belum bangun. Kami semalam tidur sudah menjelang fajar karena kami asyik bercengkerama tentang apa saja. Saya suka bercerita. Apalagi yang diajak bercerita juga serius mendengarkan.

Pintu kamar saya masih terkunci rapat. Wak Rindu beberapa kali sempat mengetuk pintu kamar saya. Tapi saya dan Hamidah sama sekali tidak mendengar suara ketukan. Akhirnya Wak Rindu membiarkan kami tidur sepuas-puasnya. Wak Rindu menyadari bahwa kami adalah pengantin baru yang biasanya sering begadang larut malam. Bangun tidur kesiangan. Apa yang dilakukan pengantin baru adalah menjalani masa-masa yang paling indah dan menggairahkan.

Tepat pada pukul 12 siang, saya dan Hamidah mulai bangun. Alangkah terkejutnya setelah melihat jarum jam menunjukkan pukul 12.00 WIB. Saya mulai salah tingkah untuk keluar kamar. Sebab di ruang tamu ada Junaidi, sopir Speedboat ingin menemui saya. Akhirnya saya berusaha cuek. Keluar kamar dalam keadaan kusut, rambut acak-acakan, serta kedua mata saya terlihat memerah.

‘’Hei Junai, dengan siapa?’’ tanya saya pada Junaidi, yang mau mengantar saya ke Airsugihan.

‘’Ini jam berapa? Mentang-mentang pengantin baru, bangun seenaknya.’’

‘’Maaf kesiangan. Kami semalam tidur pukul 04.00 WIB.’’

‘’Wah-wah. Masak sampai fajar baru tidur?’’

‘’Iya sih, maklum kami bercerita tapi nggak sadar ngelantur sampai fajar.’’

‘’Ceritanya serem ya.’’

‘’Tahu aja kamu Jun…’’

‘’Ya, sudah mandi dulu biar segar. Malu sama tetangga.’’

‘’Ya ya…!’’

Saya masuk kamar lagi. Mengajak Hamidah mandi dan siap-siap ke Airsugihan. Tapi Hamidah hanya cengar-cengir. Mungkin juga merasa malu. Dia kemudian menyisir rambutnya dan ganti pakaian.

‘’Belum mandi kok ganti pakaian?’’

‘’Malu, kusut begini.’’

‘’Namanya juga bangun tidur.’’

‘’Biar agak rapi dikitlah.’’ sungut Hamidah.

Wak Rindu yang tadinya keluar masuk rumah dan memperhatikan kamar saya, kini sudah merasa lega. Dia khawatir ada apa-apa di kamar saya karena dari fajar hingga pukul 12 siang nggak ada suara apa-apa di kamar saya.

Syukurlah penghuni kamar sudah bangun! Pikir Wak Rindu yang menemani Junaidi minum kopi di ruang tamu.

‘’Berapa jam dari Sungsang ke Airsugihan?’’ tanya Wak Rindu pada Junaidi.

‘’Kalau jalan mutar sungai Musi Palembang sekitar empat jam. Tapi kalau kita lewat Muara Padang bisa kita tempuh selama tiga jam,’’ jawab Junaidi

‘’Lho apa nggak lebih enak lewat laut Bangka? Soalnya Airsugihan kan berada di ujung Sumsel?’’

‘’Sebenarnya bisa juga Wak lewat laut Bangka. Tapi speed kami kecil. Nggak bisa membelah ombak. Saya takut pecah kena hantaman ombak terus menerus. Apalagi saat ini ombak sedang besar-besarnya.’’

‘’Tapi kan tidak lewat tengah laut. Hanya di muaranya saja.’’

‘’Iya sih Wak. Tapi coba nanti kita lihat lewat mana baiknya. Kalau kiranya lewat laut itu lebih baik, kenapa tidak. Malah bisa kita tempuh selama dua jam.’’

‘’Nah itu kan lebih cepat. Saya kawatir kalau caramu mutar sungai Musi ke sungai Saleh kan jauh sekali. Perhitungannya kalau tepat waktu nggak apa-apa, artinya kalian sampai ke Airsugihan masih sore. Tapi kalau nggak tepat waktu, misalnya speedmu ngadat, bisa-bisa kalian bermalam di jalan.’’

‘’Ya, saya rasa lewat laut saja Wak bisa lebih cepat.’’

‘’Tinggal kalianlah, mau lewat mana. Yang penting hati-hati. Yang kamu bawa itu pengantin baru.’’

Junaidi tersenyum.

‘’Kenapa tertawa?’’

‘’Sepertinya Wak sayang sekali sama mereka.’’

‘’Ya, saya menyayangi mereka. Pras orangnya baik dan sabar. Meski terkadang dalam satu hal Pras keras kepala. Tapi saya suka karena itu bagian dari cirri seorang satria. Sedangkan Hamidah, saya menyayanginya karena sejak kecil sudah ditinggal kedua orangtuanya akibat digulung ombak pada musim badai tahun lalu. Saya tahu mereka berdua sangat cocok.’’

‘’Ya, Wak mereka sangat cocok,’’ kata Junaidi. Dalam hati, Junaidi mengumpat Wak Rindu suka membual. Padahal semua orang tahu kalau Pras dan Hamidah menikah basah. Menikah yang tidak terhormat akibat perbuatan zinah diluar nikah. Itulah image yang terbentuk di masyarakat.

‘’Saya salut dengan Pras karena kali pertama kenal dengan saya sudah menunjukkan sikap jujur. Dia berani membantah tentang kebiasaan yang dianggap buruk oleh seorang pendatang. Sampai-sampai pada tradisi perkawinan yang sudah ada sejak turun-temurun,’’ ujar Wak Rindu.

‘’Kabarnya Pras menikah basah.’’

‘’Itu hanya akibat dari sikapnya yang keras kepala. Tapi dia bertanggungjawab. Dia mau menikahi Hamidah tanpa menolak semua persyaratan yang ditentukan adat. Meski Pras membayar semuanya, tapi Pras tidak mau memakainya. Tidak mau merayakan pernikahan besar-besaran. Padahal dia bisa. Saya rasa itu bagus, Pras ingin memberi contoh bahwa membayar mahal sebuah pernikahan bukan untuk pamer, tapi merupakan kehormatan. Buat apa membayar mahal kalau pada akhirnya keluarga itu sendiri yang kebingungan menjalani bahtera rumah tangga. Kebanyakan orang-orang kampung maunya menikah besar-besaran meskipun dananya ngutang sana sini. Habis nikah bingung bagaimana membayar hutangnya. Akibatnya pengantin baru yang mestinya bahagia, berbalik menjadi bencana.’’

‘’Jadi Pras membayar nikah kebo?’’

‘’Ya, dia membayarnya. Tapi dia tidak memakainya.’’

‘’Mungkin dia malu Wak, soalnya telah berbuat zinah.’’

‘’Sangkaan Pras berbuat zinah itu merupakan larangan. Belum tentu Pras melakukan perbuatan zinah. Dalam ajaran Islam disebutkan; jangan mendekati zinah, karena perbuatan zinah termasuk dosa-dosa besar. Kalau lelaki dan perempuan berduaan tanpa ditemani orang ketiga, artinya dia telah mendekati perbuatan zinah. Itu juga termasuk dosa. Pras telah memasuki kawasan terlarang. Makanya Pras harus bertanggungjawab,.’’ Jelas Wak Rindu.

‘’Artinya Pras menikah dengan keadaan terpaksa?’’

‘’Bisa ya bisa tidak. Dikatakan terpaksa karena dia memang nikah basah istilah orang kampung. Dibilang tidak, karena Pras dan Hamidah sudah saling kenal. Semula Pras emm…,’’Wak Rindu berhenti sebentar. ‘’Pras memang pernah berterus terang suka dengan Dinda. Tapi saya pikir urusannya bisa panjang. Dinda sengaja pergi dari kampung bersama ibunya tanpa mau diketahui siapapun. Ini tak lain karena ingin menghindari dendam dari pihak keluarga Cik Wan. Lagu Maringgi tewas ditangan Hikam, kakak tertua Dinda, tentu saja Dinda harus pergi untuk menghindari kemungkinan buruk, yaitu balas dendam atas kematian yang tak wajar itu. Dinda beberapa kali menemui saya membicarakan itu. Saya pikir, bagus. Satu-satunya jalan harus meninggalkan kampung Rantau.’’

‘’Kasihan Dinda ya, Wak.’’

‘’Ya, kita semua prihatin dengan nasib Dinda yang tidak salah apa-apa bisa jadi pelampiasan dendam.’’

‘’Di satu sisi, saya sebenarnya juga menyetujui Pras menjalin cinta dengan Dinda, disisi yang lain, Dinda adalah kawan paling akrab Hamidah dan harus pergi dari kampung ini,’’ ucap Wak Rindu.

‘’Ooo…’’ Junaidi manggut-manggut.

Tak lama kemudian Hamidah yang sudah mengemas pakaiannya, langsung menemui Wak Rindu. Pamit mau berkunjung ke rumah mertua di Airsugihan.

‘’Kerupuk udangnya sudah dibungkus?’’ Tanya Wak Rindu. Kerupuk udang yang dimaksud Wak Rindu adalah kerupuk udang khas Sungsang. Kerupuknya besar-besar sangat enak karena memang asli terbuat dari udang yang sudah dikeringkan.

‘’Sudah Wak,’’ jawab Midah.

‘’Ya, buat oleh-oleh keluarga Airsugihan, karena itulah adanya disini,’’ kata Wak Rindu.

Saya keluar kamar dan langsung pamit dengan Wak Rindu.

‘’Wak, saya pergi. Mau titip apa?’’

‘’Sampaikan salam hormat sama orangtuamu disana.’’

‘’Ya, Wak.’’

Saya dan Hamidah tanpa membuang waktu lagi langsung menuruni tangga rumah. Jarak rumah Wak Rindu dengan sungai hanya sekitar 50 meter, hanya dibatasi surau yang letaknya di pinggir sungai. Surau ini sengaja dibangun dipinggir sungai agar para nelayan atau orang yang lalu lalang lewat sungai bisa singgah untuk menjalankan salat.

Wan Maliki sudah menunggu dibawah rumah dan membantu mengangkat tas besar berisi pakaian dan oleh-oleh. Hamidah lebih dulu naik ke geladak speed di jok paling belakang. Beberapa tas bawaan saya susun di moncong speed. Kami berdua duduk di jok belakang dekat sopirnya.

‘’Sudah Wan, kami pergi dulu ya. Kapan kamu mau nyusul ke Airsugihan?’’

‘’Ya, kapan-kapan Mas Pras.’’ jawab Wan Maliki.

Speedboat pun langsung melesat seperti jet yang membelah sungai. Dengan kecepatan 200 PK, speed yang kami tumpangi setengah terbang tersiuk-siuk menghindari sampah enceng gondok di setiap kelokan. Angin terasa begitu deras menerpa wajah saya selama perjalanan. Dalam waktu tidak lama, wajah saya pun terasa tebal dan rambut acak-acakan.

‘’Kita lewat laut atau mutar lewat sungau Musi?’’ tanya Junaidi pada saya.

‘’Apaaa! Kurang keras. Nggak dengar…!’’ teriak saya.

‘’Lewat laut atau sungai Musi?’’ Junaidi juga sedikit berteriak karena bising mesin speed yang meraung-raung dan angin kencang menerpa telinga.

‘’Sungai Musi aja. Lewat laut terlalu berbahaya. Sedang musim badai!’’ jawab saya.

‘’Ya, kita lewat sungai Musi saja,’’ jawab Junaidi yang langsung menambah kecepatan speed menembus hamparan sungai yang berkelok-kelok. Di sepanjang sungai Musi kami merasa sedang berbulan madu sembari menikmati pemandangan kota Palembang dari arah sungai. Pabrik karet, Pabrik kayu, penyulingan minyak, Pabrik Pupuk menjadi pemandangan yang tak asing bagi para penumpang speed. Sebab sungai musi merupakan transportasi air yang menghubungkan antara sungai Musi dan sungai Sugihan, kawasan transmigrasi.

Baru setelah sampai sungai sugihan, kita tak bisa lagi menikmati keindahan kota, melainkan kita hanya menikmati kesemrawutan hutan bakau dan hutan nipah di sepanjang sungai.

Sesekali kita juga melihat beberapa hewan-hewan liar melintasi sungai, seperti ular sanca, monyet, biawak, rusa, bahkan gajah. Satu yang paling kita takutkan, yaitu ketemu Harimau atau buaya. Dua binatang liar itu paling tidak bisa diajak kompromi. Beberapa waktu lalu, masyarakat sempat heboh karena ada seorang warga diterkam harimau. Begitu juga buaya, sudah sering menelan korban. Mudah-mudahan saja kita tidak bertemu dua biatang paling berbahaya itu. Kita masih pengantin baru! Pikir hati saya.

Di sepanjang perjalanan, istri saya tampak biasa-biasa saja melihat sesuatu yang saya rasakan aneh. Hamidah juga tidak kagum melihat monyet bergelantungan diranting-ranting hutan bakau. Bahkan ketika ada ular sanca sebesar paha orang dewasa, dia tidak merasa takut atau kagum. Tapi bagi saya meskipun sudah sepuluh tahun hidup di kawasan trans, masih sering mengagumi hewan-hewan liar.

‘’Kamu nggak takut ular?’’ tanya saya pada Hamidah.

‘’Apa…?’’ Hamidah berteriak karena kurang jelas.

‘’Kamu nggak takut ular.’’ saya sambil memeragakan cara ular berjalan.

‘’Tidak. Sudah biasa lihat ular.’’

‘’Harimau?’’ tanya saya lagi sembari memeragakan Harimau menerkam..

‘’Tidak!’’

Saya tersenyum. Hidup di kawasan Airsugihan saya rasakan sangat seram karena masih banyak bintang buas berkeliaran. Tapi bagi Hamidah semua binatang buas ada kelemahannya. Misalnya Harimau, bagi mereka yang tidak tahu sifat-sifat Harimau pasti sudah pingsan duluan ketika tiba-tiba berpapasan. Padahal melawan Harimau sebenarnya mudah. Pertama jangan lari. Sebab bila kita lari, akan sangat memudahkan Harimau memangsa kita. Tapi bila kita berani berhadapan, harimau tidak mau langsung menerkam kita. Mata kita harus selalu menatap mata harimau meskipun kita hanya membawa sepotong kayu. Yang jelas harimau selalu menerkam mangsanya dari arah belakang. Itu sebabnya orang-orang kampung bila masuk hutan harus memakai topeng untuk menutup kepala bagian belakang. Jadi wajah kita ada dua, depan dan belakang. Ini dimaksudkan untuk mengelabuhi harimau.

Lantas bagaimana menaklukkan buaya? Binatang satu ini sangat sulit ditaklukkan, kecuali memakai senapan atau parang. Namun bila terpaksa, misalnya kaki kita sudah berada dimoncong buaya, satu-satunya jalan untuk melepaskan gigitan buaya adalah dengan memukul matanya. Pengalaman ini sudah sering dilakukan beberapa warga yang pernah digigit buaya, kecuali bila kita pingsan duluan karena diseret sampai ke dasar sungai, wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu. Kita dipastikan menjadi santapannya.

Bunyi mesin speed terus meraung-raung. Waktu telah menunjukkan pukul 17.00 WIB, sudah cukup sore. Seharusnya pada pukul 16.00 WIB tadi kita sudah sampai muara padang. Tapi saat ini kita baru sampai muara Telang. Artinya perjalanan kita benar-benar terlambat jauh. Bisa-bisa kita sampai Airsugihan pukul 8 malam. Ini bisa berbahaya bagi perjalanan kita di atas sungai. Sebab sepanjang sungai Airsugihan ini masih sering dijadikan perlintasan pembalakan liar. Banyak kayu sengaja dihanyutkan, akibatnya bisa membahayakan bagi perjalanan speedboat. Inilah yang kami cemaskan naik speed pada malam hari. Bila speed menabrak kayu, dipastikan speed akan hancur berkeping-keping.

Malam pun makin larut. Arus sungai yang cukup deras dan kabut mulai turun, membuat pandangan benar-benar mencekam. Kami hanya bertiga bersama sopir. Rasa was-was terus menghantui perasaan. Pandangan nun jauh di sana terlihat hitam pekat, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan Samping kanan kiri sungai juga hanya terlihat hutan bakau rimbun. Sesekali kami berpapasan dengan nelayan tradisional yang mencari udang dengan sampan. Mereka terlihat dipinggir sungai dengan penerangan lampu dengan bahan bakar karbit. Itupun hanya bisa menerangi satu arah, yaitu pas moncong sampan.

Udara di sepanjang sungai mulai terasa dingin Hamidah memeluk pinggang saya. Kepalanya sengaja disandarkan ke bahu saya. Tanpa bicara apa-apa, mungkin dia telah tidur. Tapi saya justru tidak bisa tidur dalam perjalanan seperti ini.

Junaidi terus menancapkan gas menembus kabut yang terlihat bergelombang dihamparan sungai, kadang tebal, kadang tipis. Saya berusaha menemani ngobrol agar Junaidi tidak ngantuk.

Begitu speed menikung di kelokan sungai Saleh Musi Banyuasin, sebuah balok besar terlihat di depan speed yang melesat dengan kecepatan 80 PK. Dalam situasi yang begitu cepat, Junaidi gugup mengendalikan speednya, akhirnya balok berdiameter 90 itu dihantamnya, braakk! Suara ledakan pun begitu dahsyat membuat saya dan Hamidah terlempar entah ke mana. Saya tidak merasakan apa-apa dan pandangan saya gelap seperti malam yang begitu pekat. Setelah itu, plas! Saya tidak tahu apa-apa lagi.

***

Esok harinya orang ramai menuju muara sungai Saleh, tepatnya di kawasan transmigrasi jalur 14. Speed yang kami tumpangi hancur berkeping-keping. Sedangkan mesinnya meledak dan tenggelam di muara sungai.

Ketiga penumpang termasuk saya terpental ke beberapa tempat. Junaidi dan Hamidah belum ditemukan. Sedangkan ketika masih setengah sadar langsung dibawa warga menuju ke Puskesmas setempat, kemudian di rujuk ke Rumah Sakit Muhammad Husein (RSMH) Palembang. Beberapa kali saya berusaha bangun, tapi akhirnya nggak ingat apa-apa lagi. Sekujur tubuh saya terasa sulit untuk digerakan. Dalam situasi seperti ini saya hanya teringat kuburan. Teringat batu nisan yang berjejer rapi. Bunga kamboja yang tumbuh subur, serta melihat beberapa orang datang berziarah. Pikiran saya terus melayang jauh. Benarkah saya sudah mati? Saya belum mau mati. Saya belum bertobat!

Baru ketika saya mulai siuman yang kesekian kali. Saya merasakan kembali betapa sakit luar biasa merajam sekujur tubuh saya. Slang infus yang menancap di pergelangan lengan kanan saya terasa dingin mengalir setiap tetes ke urat nadi. Tapi saya masih belum bisa apa-apa. Sepertinya dunia tak lagi berwarna-warni, kecuali sinar putih yang membuat silau pandangan saya.

Sampai hari kedua, saya baru bisa diajak bercakap-cakap, tapi saya sama sekali tak ingat kejadian tragis yang menimpa saya. Tahunya saya sudah berada di rumah sakit dalam kondisi kepala saya dibalut perban, kaki dan tangan saya juga penuh luka. Dan betapa terkejutnya saya ketika Wak Rindu dan Wan Maliki duduk di dekat tempat tidur saya.

‘’Apa yang terjadi Wak?’’ saya masih tidak percaya dengan kejadian tragis ini. Wak Rindu hanya menggeleng. Tak bicara apa-apa. Saya melihat kelopak mata Wak Rindu lembab. Saya tambah semakin penasaran.

‘’Apa yang terjadi Wak? Bagaimana dengan Hamidah dan Junaidi?’’ tanya saya lagi. Wak Rindu tak bicara apa-apa lagi, kecuali terdengar sesenggukan. Wak Rindu yang biasanya galak itu pun bisa menangis. ‘’Hamidah telah kembali ke pangkuan Allah…’’ kata Wak Rindu lirih.

‘’Apa…!’’ Seperti petir menyambar, pandangan saya jauh hingga akhirnya saya tidak ingat apa-apa. Hamidah dan Junaidi ditemukan warga sudah dalam keadaan tak bernyawa. Kabar ini benar-benar membuat pikiran saya semakin kacau. Hamidah telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Saya baru menyadari firasat buruk telah diceritakan Hamidah sebelumnya. Tapi saya sama sekali tidak menyadarinya. Suatu hari dia pernah bicara pada saya kalau perjalanan takdir tidak bisa ditolak. Dia melukiskan kata-kata indahnya ketika saya kali pertama melamarnya. ‘’Mas Pras, kata orang Jawa membaca weton atau hari lahir itu bagaimana. Apakah pernikahan kita sudah sesuai dengan hari dan tanggalnya?’’ begitu kata Hamidah saat itu. Sulit saya menjawabnya, karena saya sendiri telah lupa dengan penanggalan Jawa. ‘’Kenapa kamu bicara soal weton?’’ tanya saya heran. ‘’Katanya itu bisa menuntun kita, termasuk siapa yang lebih dulu meninggal?’’ saya sempat terkejut. Saya kemudian meluruskan kata-kata Hamidah bahwa takdir Tuhan bersifat pasti. Kun fayakun! Apa yang telah dikehendaki-Nya, maka jadilah ia. Termasuk hidup dan mati.

Kata-kata yang terakhir Hamidah benar-benar membuat tubuh saya jadi bergidik. Rasanya saya ingin menangis sejadi-jadinya. Bagi saya pernikahan ini merupakan rahasia Tuhan. Dan saya telah ikhlas menerimanya. Susah dan senang harus kita arungi bersama. Tuhan telah menjodohkan saya bersama Hamidah, meskipun kesannya terpaksa. Menurut saya ini bukan terpaksa, melainkan itulah jalan takdir-Nya. Saya juga harus membagi rasa bahagia ini kepada keluarga besar saya di Airsugihan. Ibu dan bapak serta adik-adik saya harus tahu. Mereka juga harus menyayangi Hamidah seperti mereka menyayangi saya. Tapi, belum sampai tujuan, Hamidah telah meninggalkan kita semua.

Wak Rindu berusaha meyakinkan saya agar tetap tabah. Saya hanya menatap wajah Wak Rindu dalam diam. Tak berkata apa-apa.

‘’Saya tahu kejadian ini dari berita di koran. Ternyata benar kalian,’’ lanjut Wak Rindu. Saya masih belum bisa berkata apa-apa.

***

Hari keempat saya di rumah sakit, saya rasakan sudah banyak perubahan. Badan saya tidak lagi terasa sakit, hanya kepala masih terasa pusing. Pada hari keempat ini keluarga besar saya baru datang menjenguk saya. Mereka diberitahu Hamdi kalau saya kecelakaan speedboat di muara sungai Saleh..

‘’Bagaimana kejadiannya kok bisa sampai begini,’’ tanya ibu saya.

‘’Saya nggak tahu, Bu. Tahunya saya sudah di rumah sakit ini. Kata berita di koran, speed yang saya tumpangi menabrak balok yang hanyut di sungai. Trus meledak. Istri saya dan sopir speed nggak tertolong lagi.’’

’’Trus, mayat istrimu dibawa ke kampungnya lagi?’’

‘’Ya, dikubur ke kampung Rantau.’’

‘’Ibu cuma pingin tahu, ceritanya bagaimana kamu begitu cepat menikah di sana. Nggak ada kabar sebelumnya tahu-tahu kamu kirim surat mau nikah. Ini gimana?’’

‘’Sudahlah Bu, sesuatu sudah terjadi. Namanya juga jodoh, Bu’’ kata saya.

‘’Ibu belum sempat melihat istrimu….’’

‘’Ya, tadinya saya berencana mau mengenalkan istri saya pada Ibu.’’

‘’Ya sudah, sabar saja nak, dalam kejadian ini Tuhan punya renacana lain…’’ kata Ibu.

Di ruangan tempat saya dirawat ini selain Ibu dan bapak saya, juga ada Hamdi, Midi dan Badrun. Mereka bahkan menginap di ruangan saya secara bergantian. Tapi malam tadi, mereka semua menginap di rumah sakit.

‘’Hari kedua Wak Rindu dan Wan Maliki menunggui saya. Kemudian dia harus pulang ke kampung Rantau karena mengurus pemakaman Hamidah,’’ kata saya pada Hamdi..

‘’Ya, saya sudah tahu,’’ sahut Hamdi.

‘’Rasanya kesehatan saya sudah pulih, hanya tinggal kepala yang masih pusing.’’

‘’Pokoknya sampai sembuh betul. Mungkin kepalamu terbentur benda keras.’’

‘’Ya, rasanya memang begitu. Masih untung saya terlempar di darat. Kalau saya terlempar di sungai, mungkin saya nggak lagi melihat kalian.’’

‘’Sudahlah nggak usah bicara ngelantur. Alhamdulillah Allah masih melindungimu, nak’’ potong ibu.

‘’Dokter siapa yang merawat saya, Bu’’ tanya saya.

‘’Dokter Marwan dibantu beberapa perawat yang setiap hari berganti-ganti. Menurut dokter, kesehatanmu berangsur-angsur membaik, tidak ada cidera yang berarti.’’

‘’Syukurlah,’’ kata saya.

‘’Kemarin ada salah satu perawat yang kenal namamu.’’

‘’Siapa namanya, Bu.’’

‘’Entahlah, ibu juga lupa menanyakan namanya.’’

‘’Mungkin saja. Sebab setiap dokter dan perawat selalu mencatat identitas pasiennya, termasuk riwayat penyakitnya.’’

‘’Ya, mungkin saja. Tapi dari perangainya, dia sangat memahamimu.’’

‘’Memahami bagaimana?’’

‘’Tahu sifatmu. Keras kepala.’’

‘’Itu perawat sok tahu.’’

‘’Tapi buktinya memang begitu, kan…’’

‘’Setiap orang kan memang punya sifat masing-masing.’’

‘’Kamu ini sakit, tapi malah ngajak berdebat,’’ celetuk Hamdi.

Tak lama kemudian, perawat yang baru saja dibicarakan datang lagi membawa buku riwayat pasien. Hamdi, Badrun dan Midi bengong. Seperti tak percaya melihat perawat memasuki ruangan tempat Pras dirawat.

‘’Kamu Dinda kan?’’ tanya Hamdi.

‘’Bukan,’’ jawab perawat tadi dengan nada singkat.

‘’Kamu Dinda kan….’’ Hamdi masih penasaran.

‘’Ya, kenapa temanmu bisa sampai seperti ini?’’ Dinda akhirnya mengaku.

‘’Kok, kamu bisa sampai di sini. Kamu jadi perawat ya?’’ Hamdi seperti tak percaya.

‘’Saya masih sekolah. Saya masuk di Akademi Perawat RSMH.’’

‘’Jadi…’’

‘’Sekarang lagi praktik di rumah sakit.’’

‘’Hebat kamu Dinda!’’

‘’Apanya yang hebat.’’

‘’Kamu bisa jadi perawat. Siapa yang membawamu ke sini?’’

‘’Seperti kata Pras, jalan takdir yang membawa saya ke sini.’’

‘’Ah, bisa aja kamu.’’

Hamdi geleng-geleng kepala. Sedangkan ibu saya hanya diam karena memang tak tahu apa-apa tentang kami.

‘’Jadi kalian sudah pada kenal perawat ini?’’ tanya Ibu heran.

‘’Ya Dinda ini, Bu. Gadis pertama yang dikenal Pras di kampung Rantau Sungsang,’’ Hamdi bicara dengan semangat. ‘’Pras tergila-gila sama Dinda,’’ lanjut Hamdi tanpa menghiraukan orang lain. Sedangkan saya yang mendengar celoteh Hamdi rasanya kepala makin pusing. Saya sebenarnya juga sempat tak percaya kalau Dinda kini jadi perawat.

‘’Kasihan Hamidah. Dia tak tertolong lagi karena pingsan di air. Kemarin saya juga ketemu Wak Rindu dan Wan Maliki,’’ cerita Hamidah sambil membenarkan posisi selang infus saya yang macet.

‘’Wak Rindu cerita apa saja?’’ tanya saya.

‘’Tidak cerita apa-apa, dia sangat shock Hamidah meninggal. Kasihan Hamidah. Sejak kecil ikut Wak Rindu….’’

‘’Kenapa kamu meninggalkan kampung tanpa memberitahu siapa-siapa? Kamu kesannya minggat begitu saja. Kenapa?’’ tanya saya.

‘’Tahu sendiri kan, bagaimana sifat orang kampung. Saya sengaja tidak memberitahu siapa-siapa, kecuali Wak Rindu yang selama ini masih dipercaya orang kampung. Saya takut terjadi apa-apa tentang saya dan ibu saya.’’

‘’Maksudnya dendam keluarga Cik Wan?’’

‘’Ya, itu karena ulah kakak saya. Takutnya saya jadi korban pembalasan keluarga Cik Wan.’’

‘’Trus selama di Palembang kamu tinggal di mana?’’

‘’Saya tinggal di tempat kos bersama ibu saya.’’

‘’Yang membiayai kuliahmu?’’

‘’Simpanan hasil menjual rumah dan sawah di kampung Rantau. Jadi saya tidak mungkin lagi pulang ke kampung Rantau karena sudah tidak punya tempat tinggal.’’

‘’Rumahmu di sana kamu jual?’’

‘’Ya, iya. Saya sudah tidak lagi jadi warga kampung Rantau. Disini saya juga bisa membesuk kak Hikam di penjara. Semuanya sudah saya ceritakan dan kak Hikam menyetujui rencana kami.’’

‘’Baguslah. Kamu memang pintar, Dinda.’’

‘’Sebenarnya itu tidak pintar. Semuanya bisa terjadi karena kondisi memaksa kita harus melakukan sesuatu. Sama halnya yang terjadi pada Pras. Menikah begitu cepat karena kondisi telah memaksanya,’’

‘’Kamu sudah tahu tentang Pras?’’ sela Hamdi.

‘’Apa sih yang tidak kita ketahui? Zaman sekarang serba canggih. Saya tahu dari koran. Saya membaca di koran pengantin baru korban kecelakaan speedboat. Siapa yang pengantin baru kalau bukan mas Pras.’’

‘’Luar biasa kamu Dinda,’’ Hamdi memuji.

‘’Nggak usah terlalu memuji. Biasa-biasa saja,’’ kata Dinda kalem.

Saya yang sejak tadi cuma mendengarkan pembicaraan Hamdi dan Dinda, rasanya benar-benar menjadi manusia yang paling bersalah.

‘’Maafkan saya Dinda,’’ kata saya kemudian.

‘’Memangnya kamu salah apa pada saya?’’

‘’Saya telah menikahi Hamidah.’’

‘’Itu harus disyukuri. Tak perlu minta maaf karena tidak ada yang disalahkan. Saya tahu semua yang terjadi di kampung Rantau, termasuk yang kamu alami,’’ Dinda berkata datar.

Setelah ngecek infus saya, Dinda kemudian keluar ruangan. Mungkin dia juga bertugas menangani pasien di kamar lain. Ibu saya masih penasaran dengan Dinda. Ceritanya menjadi rumit ketika ibu saya tahu saya mengagumi Dinda tapi menikahi Hamidah. Ibu menerka-nerka saya berbuat kurang ajar selama di perantauan. Tapi ibu tak sampai menanyakan hal itu pada saya maupun teman-teman saya.

***

Saya benar-benar tidak menyangka bisa seperti ini. Semuanya berjalan begitu cepat. Bahkan saya sendiri sepertinya tak menyangka pernah menjadi seorang suami. Belum pernah merasakan bagaimana pahit dan getirnya sebagai seorang bapak.

Hari-hari yang saya lalui tak ubahnya dunia menjadi sempit. Kampung Rantau tak lagi tersenyum seperti hari kemarin, ketika masih ada Hamdi, Badrun dan Midi. Mereka selalu membicarakan perempuan Rantau yang polos, manja, dan sering curi-curi pandang diantara teman-teman lelakinya.

Sesekali saya jalan-jalan menyusuri jalan setapak menuju perkampungan parit empat. Saya hanya ingin mencoba menghibur diri. Aktivitas masyarakat kampung Rantau tetap seperti biasa. Sibuk menjemur ikan asin. Beberapa warga juga terlihat sibuk membuat kerupuk udang dan mengeringkan kopra.

Nora dan Upik yang siang itu menjinjing ember berisi air, melambaikan tangan tanda memanggil saya.

‘’Ada apa Pik?’’ tanya saya seraya mendekati mereka.

‘’Mas Pras mau ke mana? Apa sudah sehat?’’ tanya Upik.

‘’Seperti yang kamu lihat. Alhamdulillah sudah sehat. Saya cuma pingin jalan saja.’’

‘’Sabar ya Mas Pras. Namanya juga cobaan.’’

‘’Terima kasih atas perhatianmu.’’

‘’Teman-temanmu nggak ke sini lagi ya,’’ sela Nora.

‘’Mungkin tidak. Kenapa, ada yang mau kalian sampaikan pada mereka.’’

‘’Nggak sih, cuma nanya.’’

‘’Nggak apa-apa, mau nitip salam? Sebutkan untuk siapa, Hamdi, Badrun atau Midi?’’

‘’Ah, Mas Pras ini.’’

‘’Kalian kan sudah pada besar-besar.’’

‘’Maunya sih…’’ suara Upik bernada manja.

‘’Ya sudah nanti saya sampaikan.’’ kata saya lagi.

‘’Ngomong-ngomong, Dinda sebenarnya pergi kemana ya. Semua orang di sini nggak ada yang tahu. Mungkin Wak Rindu tahu, tapi masyarakat nggak ada yang berani nanya,’’ celetuk Nora.

‘’Memangnya ada apa?’’ tanya saya.

Upik melirik ke arah rumahnya. Didalam ada Jaeng, kakak tertua almarhum Lagu Maringgi. Dia selalu bertandang ke beberapa rumah tetangga hanya ingin menanyakan Dinda. Termasuk kapan Hikam dibebaskan dari tahanan.

‘’Jaeng nanya-nanya terus keberadaan Dinda,’’ kata Upik lirih.

Mendengar kabar ini, darah saya langsung mendidih. Begitu dendamnya Jaeng terhadap keluarga Hikam. Sampai-sampai mau memburu ke mana larinya keluarga Hikam. Kenapa mesti menanyakan keberadaan Dinda. Ini sudah kelewatan. Bila sampai Dinda berdarah, saya terpaksa harus melakukan pembelaan, pikir saya.

‘’Maksud menanyakan Dinda ada apa?’’ tanya saya.

Upik menaikkan kedua bahunya, tanda tidak tahu.

‘’Jaeng masih tidak terima adiknya meninggal dengan cara dibunuh,’’ bisik Upik.

‘’Tapi kan tidak harus Dinda yang tak berdosa jadi sasaran. Saya merasakan betapa marahnya kita bila keluarga kita diperlakukan seperti itu. Tapi mau dibilang apa, Hikam sudah menjalani hukuman atas perbuatannya. Kalau kita mau nuruti emosi kita, dunia tak pernah akan aman. Atas nama dendam akan terus bermunculan sepanjang zaman, ‘’ kata saya lagi.

‘’Saya pikir Mas Pras tahu di mana Dinda berada. Mas Pras pasti akan ditanya Jaeng.’’

‘’Saya tahu atau tidak itu urusan saya. Dan Dinda Pergi juga urusan Dinda. Untuk apa orang lain bingung?’’

‘’Untung Mas Pras menikahi Hamidah, meskipun pernikahan Mas tidak langgeng,’’ sambung Nora.

‘’Memangnya kenapa, kalau saya menikahi Hamidah kenapa, kalau menikahi Dinda juga kenapa?’’

‘’Nggak sih, soalnya hidup di kampung ibarat katak dalam tempurung. Pengalaman yang kita pijak ya hanya sebatas itu. Begitu juga bila ada masalah selalu berputar-putar disitu,’’

‘’Saya memahaminya. Ngomong-ngomong Jaeng di rumahmu dengan siapa? Jangan-jangan kamu minta disidang seperti saya…’’

‘’Ah, Mas mau bikin gossip, ya. Di rumah selain Jaeng, ada orangtua saya dan Abang saya Palauk.’’

‘’Bang Palauk yang sarjana ekonomi itu ya.’’

‘’Ya iya. Memangnya Bang Palauk yang mana. Yang sarjana ekonomi di ini cuma Abang saya,’’ tegas Nora.

‘’Ya, sudah kita ke rumahmu. Kalau ada Palauk, pikiran saya bisa cair. Abangmu bisa diajak ngobrol cara modern,’’ kata saya sembari mengajak Nora ke rumahnya..

Dari kejauhan Palauk langsung melambaikan tangan ke arah saya. Dibelakangnya Jaeng mengawasi saya sembari menghisap rokoknya.

‘’Lama nggak ngobrol-ngobrol. Sini masuk. Ada Jaeng dan juga Bedur,’’ Palauk menepuk pundak saya tanda persahabatan.

‘’Ini baru perantau sejati. Selalu memahami resiko yang terjadi di perantauan. Baru kamulah yang saya tahu memiliki sikap satria dan berpikir logis,’’ ujar Palauk memuji saya.

‘’Ini ada apa, tahu-tahu langsung memuji saya.’’

‘’Kebetulan saya tadi membicarakan kamu. Hanya kamulah yang berani menghadapi Wak Rindu melamar almarhum Hamidah. Padahal semua orang sudah pada tahu kalau kamu punya hati sama Dinda.’’

‘’Wah, kalian suka ngelantur membicarakan orang lain.’’

‘’Nggak juga, hanya kebetulan Jaeng tadi nanya tentang Dinda. Beberapa bulan Dinda tidak ada di kampung Rantau. Semua orang di kampung ini tidak ada yang tahu kemana dia. Ini membuat keluarga besar Cek Wan menerka-nerka anggapan negatif warga kampung. Jangan-jangan keluarga Cek Wan telah menghabisi keluarga besar Hikam. Siapa tahu selama ini masyarakat beranggapan seperti itu.’’

‘’Yang terpenting dimulai dari diri kita sendiri untuk tidak berburuk sangka pada orang lain. Buruk sangka ini adalah penyakit menular. Bila kita sudah buruk sangka, orang yang kita ajak bicara akan menuturkan pada orang lain, begitu seterusnya hingga akhirnya orang sekampung buruk sangka semua,’’ kata saya.

‘’Tapi yang namanya orang banyak, kita berbuat baik saja sulit dinilai baik,’’ kata Palauk.

‘’Memang seperti itu. Kita berbuat baik belum tentu dinilai orang lain sebagai suatu yang baik. Contohnya saya, dinilai sebagai pendosa dan menerima ganjarannya. Tapi, emm….saya justru berterima kasih. Semoga almarhum istri saya mendapat tempat yang layak di sisi-Nya,’’ saya menengadahkan tangan ke atas.

‘’Maksud saya seperti itu. Susah mengubah kebiasaan masyarakat.’’

‘’Sebenarnya nggak sulit. Caranya ya itu tadi, harus dimulai dari diri kita sendiri, terutama orang yang dianggap sepuh bagi warga kampung.’’

‘’Tapi sepepuh kampung kita justru memberikan pengaruhnya yang negatif.’’ Palauk ngotot.

‘’Belum tentu. Ada sisi baiknya kalau sesepuh kampung kita berlaku agak sedikit keras.’’ kata saya.

‘’Tapi akhirnya kamu menikahi orang yang bukan pilihan hatimu, kan?’’

‘’Saya justru menilai apa yang terjadi pada diri saya dan Hamidah ternyata jalan takdir yang baik. Saya tidak merasa ini merupakan pilihan yang salah dan dosa. Sebab dosa-dosa manusia adalah wilayah kekuasaan Allah. Dialah yang tahu kita berdosa. Manusia hanya tahu tanda-tandanya.’’

‘’Tapi sebenarnya ini sangat merugikan orang lain yang dinilai salah. Ini melanggar hak azazi manusia.’’

‘’Memang, ada kalanya pemimpin sok arogan. Tapi dibalik kearoganan pemimpin terkadang membuat manfaat orang banyak, tergantung situasi dan kondisi..’’

‘’Tetap nggak bisa dinalar akal sehat, Pras. Negara kita ini negara hukum, harus menempatkan hukum sebagai panglima, kita harus punya azaz praduga tak bersalah. Apakah kamu ingin membela Wak Rindu karena kamu sudah menjadi bagian keluarganya?’’

‘’Nggak juga,’’

‘’Lantas?’’

‘’Semuanya benar. Katamu juga benar. Tapi ketika kita dihadapkan kepada kebiasaan atau adat istiadat masyarakat disuatu tempat, jawabnya jadi lain. Mereka harus menjalankan aturan yang sudah dibuat turun temurun. Dan itu sulit untuk dibantah, melainkan harus dipatuhi. Mungkin sulit dinalar akal sehat atau logika hukum. Tapi hukumnya ya, hukum adat. Atau diselesaikan secara adat. Suatu saat bila kampung ini sudah banyak orang pintar, banyak sarjana seperti kamu, akan menjadi lain. Pergeseran nilai dan budaya sangat mempengaruhi generasi berikutnya. Dan itu juga merupakan hukum alam tak terbantahkan.’’

‘’Ini baru dialog pencerahan. Saya suka sekali ngobrol denganmu.’’

‘’Ngobrol dengan saya mesti ada syaratnya.’’

‘’Syaratnya apa?’’

‘’Ngopi. Biar obrolannya bisa lebih kental. Heheheh….’’ saya mencoba melucu biar suasana tetap cair. Tapi saya lihat Jaeng tidak mencoba nimbrung pembicaraan kami. Dia hanya ikut nyengir seperti terpaksa.

‘’Bang Jaeng nggak usah seperti orang susah sepanjangan. Dunia ini nggak cukup untuk dipikirkan terus. Presiden saja nggak kusut memikirkan negaranya kok. Santai aja, hidup sekali nggak usah dibikin pusing.’’

‘’Kamu ini nggak pantas bicara seperti itu. Kamu mestinya dalam keadaan berduka karena istrimu meninggal dunia belum lama,’’ tukas Jaeng

‘’Istri saya bahagia di alam baka. Selama menjadi istri saya dia selalu patuh dan tidak banyak berbuat dosa. Belum pernah ribut dan saling fitnah seperti yang kita lihat di infotainment televisi. Aib keluarga dibeberkan ke mana-mana. Keduanya tak bisa saling menutupi, melainkan berlomba-lomba mencari dosa. Kalau orang seperti ini mati, wajar kita berduka selamanya, karena mereka banyak diosanya. Insya Allah, istri saya mendapat tempat yang sangat mulia disisi Allah, amin ya robbal alamin.’’

‘’Jadi kamu menikahi dia atas dasar cinta?’’

‘’Memangnya atas dasar apa? Ya, atas dasar cinta. Cinta yang tak bernoda.’’

’Trus rencanamu ke depan? Mau berbisnis dengan saya? Saya siapkan satu kapal motor untukmu, bagaimana?’’

‘’Terima kasih. Saya rasa saya mengalir saja menjalani kehidupan. Terus terang saya sudah punya rencana. Saya mau kuliah lagi sambil menjadi journalist.’’

‘’Kuliah di mana?’’

‘’Mungkin melanjutkan fakultas Ushuludin jurusan dakwah.’’

‘’Mau jadi kiai ya?’’

‘’Bukan menjadi kiai, tetapi apa saja bisa. Berdakwah lewat tulisan bisa. Lewat cerpen bisa. Lewat buku juga bisa. Yang terpenting apapun latarbelakang kita, hidup ini harus ada manfaatnya bagi orang lain. Baru itu yang dinamakan manusia berguna.’’

‘’Pintar kamu Pras.’’

‘’Nggak usah memuji. Soalnya teman saya pernah dipuji, tapi habis dipuji besoknya mati.’’

‘’Hahaha kampret kamu ….!’’

Jaeng yang tadinya hanya diam, akhirnya juga ikut tertawa. Sifat Jaeng ini mirip Hikam. Orangnya serius. Kaku. Tidak mau tersinggung hatinya. Bila tersinggung, ukurannya golok yang bicara.

‘’Oya, saya dengar rumah Dinda sudah dijual, ya.’’ lanjut Palauk.

‘’Kok nanya saya. Memangnya saya ini bapaknya Dinda.’’

‘’Siapa tahu kamu tahu.’’

‘’Kabarnya bukan rumah yang dijual, tapi sawah dan ladangnya.’’

‘’Trus rumahnya kosong?’’

‘’Ya kosong. Dinda sama ibunya pergi. Mungkin kalau Hikam bebas, ya Hikam yang menempati rumah itu.’’

‘’Oo, kasihan Dinda ya.’’

‘’Sebagai warga yang punya sensitifitas perasaan mestinya begitu. Harus merasakan susahnya orang lain, baru dinamakan warga yang baik. Kalau kita sudah tak punya sensitifitas perasaan, kita tak kenal satu sama lain. Kamu ya kamu, saya ya saya, mirip seperti hidup di kota.’’

‘’Tapi jangan salah, kebanyakan orang ingin hidup di kota.’’

‘’Itu wajar saja. Kota memang memiliki daya tarik luar biasa. Bagi mereka yang biasa tinggal di desa, kota adalah syurga, padahal sebenarnya kota adalah neraka bagi mereka yang tak punya keahlian apa-apa. Di kota siapa yang peduli dengan penderitaan orang lain? Kota bisa menjadikan kita kaya raya, tetapi juga bisa menjadikan kita terlunta-lunta.’’

‘’Makanya kamu tinggal di sini aja. Ikut berbisnis kecil-kecilan dengan saya. Kita jualan keliling dari desa ke desa. Kan lumayan hasilnya. Atau kita bisa jadi agen kopra.’’

‘’Terima kasih Luk. Saya berusaha untuk komit terhadap rencana yang sudah saya susun. Masalah berhasil atau tidak, itu urusan nanti. Pokoknya saya tetap cinta terhadap ini.’’

‘’Rencana ke Palembang kapan?’’

‘’Besok, saya sudah harus berangkat.’’

‘’Okelah semoga sukses.’’

‘’Terima kasih. Sama-sama, semoga kamu juga sukses menjalani bisnismu. Kalau sukses nanti saya bisa ngutang buat modal di kota, hehehe…’’

‘’Modal kawin? Oke, saya siapkan. Mau mengawini siapa?

‘’Bukan kawin, tapi menikah.’’

‘’Yang bener kawin, soalnya tidak ada undang-undang pernikahan, yang ada undang-undang perkawinan.’’

‘’Hahaha, pintar juga kamu. Tapi sayangnya orang berduit seperti kamu masih takut kawin. Apanya yang kamu takuti?’’

‘’Takut nggak bisa menghidupi anak orang, Pras.’’

‘’Lho, manusia itu bisa hidup hanya dengan sesuap nasi, kok. Paling banyak ukurannya hanya sepiring nasi. Apa beratnya?’’

‘’Bisa aja kamu…’’

‘’Ya iya, coba Tanya Bang Jaeng. Iya kan Bang?’’ kata saya sembari melirik kea rah Jaeng yang sejak tadi tak bicara apa-apa.

‘’Ya, kalau setahun artinya tidak cukup dengan sepiring nasi.’’ Kata Jaeng kemudian.

‘’Tul. Itu baru pemikiran orang ekonomi.’’

‘’Tapi yang namanya hidup berumah tangga kan memang harus begitu. Boleh-boleh saja kita menghitung pengeluaran, Tapi insya Allah rejeki bagi orang yang berumah tangga ada saja. Rejeki istri, anak-anak, semua sudah ada jatahnya. Tanya saja pada orang-orang tua kita. Ayam saja bisa hidup kok, apalagi manusia.’’

‘’Ya, ya Pak Ustadz.’’ Palauk mengacungkan jempolnya.

‘’Oya, apa kabarnya Wak Cek. Apa masih lancar bisnis kopranya?’’ saya mencoba mengalihkan pembicaraan pada Jaeng.

‘’Kabarnya baik. Masih bisnis kopra.’’

‘’Saya salut dengan Wak Cek, semangat kerjanya luar biasa.’’

‘’Ya, disini kalau nggak punya semangat kerja mau makan apa?’’

‘’Setuju sekali. Itu yang saya suka. Kerja keras adalah bagian dari ibadah. Dalam hadits nabi disebutkan bekerjalah untuk duniamu seolah-olah hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah mati besok.’’

‘’Nggak usah menyinggung masalah mati, Mas,’’ sergah Jaeng.

‘’Emm maaf bila ini menyinggung perasaanmu. Saya sebenarnya juga berduka atas meninggalnya istri saya. Tapi saya mencoba menyerahkan sepenuhnya pada Allah. Dialah yang tahu segalanya. Kita tak perlu memikirkan sesuatu diluar kemampuan kita. Jalan takdir sudah ada ketentuannya masing-masing. Saya sama sekali tidak menyangka kalau pernikahan saya hanya berumur lima hari,’’ kata saya.

‘’Masalahnya berbeda dengan kami, Pras.’’

‘’Ya, saya merasakan itu.’’

‘’Tapi dengan melakukan tindakan yang sama, justru akan melahirkan dendam baru. Begitu seterusnya sepanjang hidup ini.’’

‘’Hikam sudah sangat keterlaluan. Bila memang tidak suka dengan Lagu, bukan seperti itu caranya, dicerai saja kan bisa.’’

‘’Emm kalau nggak salah kamu tadi bilang kawatir anggapan orang mengenai keluarga besar Dinda yang tidak kelihatan di ini. Artinya keluarga besarmu tidak menginginkan adanya pembalasan.’’

‘’Justru lebih senang bila masalahnya jelas, misalnya kami yang melakukan, artinya itu resiko yang kami pikul. Tapi kami tidak melakukan apa-apa dituduh melakukan, itu yang sakit hati. Saya rasa kamu pernah merasakan bagaimana rasanya dituduh berbuat zinah.’’

‘’Setahu saya masyarakat tidak ada yang menuduh keluarga besar Cek Wan melakukan pembunuhan terhadap keluarga besar Dinda. Terlalu jauh. Mungkin itu hanya perasaan kamu saja. Sudahlah, kita semua manusia lemah. Tidak melakukan kekerasan saja bisa mati. Jadi kita serahkan pada Allah saja. Sebab Dialah mahkamah tertinggi akhiruzzaman yang ketika kita meninggal, pertanyaan pertama yang ditanyakan adalah masalah darah (pembunuhan). Untuk apa kita membalas perbuatan yang sama. Lebih baik kita berserah diri pada Allah dengan ridho dan diridhoi, dan masuklah pada golongan hamba-hamba Allah yang bersabar.’’

Jaeng terdiam sembari memainkan jemarinya. Sedangkan Palauk yang sejak tadi ikut mendengar pembicaraan kami, terlihat menghindar dan pura-pura mengambil sesuatu di luar rumah. Palauk memang paling benci membicarakan masalah keluarga orang lain. Sebab biasanya masalah keluarga jarang yang berakhir damai, melainkan selalu menelan korban baru, termasuk orang lain diluar masalahnya (korban salah sasaran).........dst bersambung....!


1 komentar:

ANBTI mengatakan...

kunjungi blog www.sajakdigital.blogspot.com